Langsung ke konten utama

Untuk Sebuah Cinta Suci


Allahumma shoyyiban nafi’aan
Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra.
“Sudah tidak terlalu dingin kan?”
Zahra menggelengkan kepala.
“Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!”
“Masih males gerakin tangan.”
“Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra.
“Bisa sendiri kok.”
“Siapa juga yang mau suapin kamu.”
“Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit.
“Ra,”
“Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa.
“Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.
 “Ra apa kamu yakin dengan keputusan itu?” Gi menahan pergelengan tangan Zahra. Semua pengunjung yang melihat Gi dan Zahra merasa terharu dengan kekompakan mereka.
“Iya mas aku sangat yakin.”
“Bukankah pacaran itu proses saling mengenal?” tanya Gi, ketika Zahra mengutarakan maksudnya untuk putus dengan kekasih yang sangat dicintainya.
“Apa kamu cukup mengenal aku setelah empat tahun kita bersama?”
“Aku cukup mengenal kamu, sifat kamu dan semua tentang kamu, dan yang terpenting bagiku adalah pribadi kamu yang selalu membuat aku selalu jatuh cinta sama kamu setiap saat.”
“Apa yang kamu tau tentang aku?”
“Kamu itu baik, cerdas, pintar, penyayang, keibuan, ramah, supel, cekatan dan kadang pemalas.”
“Tidak mas, kamu tidak akan pernah mengenal aku meski kita pacaran selama seratus tahun.”
“Kenapa Zahra?”
“Karena selama pacaran aku tidak pernah menampakan sisi dan sifat burukku, artinya pacaran itu bukan proses saling mengenal, proses saling mengenal melalui pacaran itu hanya sebuah pembenaran dari sesuatu yang sesungguhnya tidak bisa dibenarkan, proses saling mengenal bukan dengan pacaran, tapi dengan pernikahan. Setelah seseorang menikah di situlah awal proses pengenalan, di mana tidak akan ada lagi hal jelek yang ditutupi pasangan.”
Gi merasa tertohok hatinya dengan ungkapan Zahra, sebenarnya baik Gi maupun Zahra tahu bahwa pacaran itu tidak baik, tetapi mereka selalu mentafsirkan bahwa pacaran yang mereka lakukan itu semata-mata untuk saling memotivasi.
“Aku mohon mengertilah mas, aku ingin hijrah.”
“Hijrah bagaimana?”
“Aku ingin hijrah untuk menjadi pribadi yang lebih baik.”
“Kamu itu perempuan sholehah Zahra, kamu sudah cukup baik dari segi apapun.”
“Tidak mas, kamu salah menilai aku.”

*****
Zahra tak pernah menganggap perpisahan itu sebuah luka, walau harus menyisakan air mata. Sebab tidak ada dokter yang bisa menyembuhkan luka perpisahan. Di apotekpun tidak akan pernah menemukan obat ataupun kasa pembalut luka perpisahan. Zahra tersenyum dengan perasaan yang sesak ketika kekasihnya mempersembahkan bunga mawar kertas berwarna merah muda. Air mata yang ditahan sekuat tenaganya tak terbendung lagi. Ia mengalir deras melewati pipi tirusnya dan bermuara di dagu.
“Kamu menerima cintaku dengan senyuman, lepas aku dengan semyuman.” Gi menghapus air mata zahra dengan jari telunjuknya, diraihnya kedua tangan Gi dan ditempelkan di kedua pipinya, hangat terasa menjalar hingga ke dasar hatinya. Ini pertama kalinya ia menyentuh tangan Gi dan mungkin untuk terakhir kalinya.
“Aku hanya takut kehilanganmu.”  Ujar Zahra lirih. Keyakinan dan keraguan memenuhi ruang hatinya, disisi lain ia sangat mencintai Gi tapi di lain sisi ia harus berjuang melepaskan Gi,
“ Tidak akan ada yang kehilangan. Aku akan tetap menjagamu dalam jarak dan do’a, bukankah sejatinya kita belum saling memiliki, mana mungkin ada yang kehilangan.”
Zahra menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tangisnya bercampur sesak di dada
“Aku tahu ini keputusanmu yang terberat, tapi aku juga tidak mau kamu hidup dalam harapan yang belum pasti.”
 “Aku akan pergi membawa cinta kamu disini, aku pamit, jaga hati dan kehormatanmu baik-baik hingga kelak ada laki-laki yang datang memperjuangkanmu dalam sebuah pernikahan, meski mungkin bisa saja laki-laki itu adalah aku atau bisa juga laki-laki itu orang lain.”  Lanjut Gi dengan wajah yang dibuatnya setegar karang, padahal ia sendiri rapuh.
“Iya mas kamu benar, bagaimana jika bukan kamu laki-laki yang telah Allah persiapkan untukku? Jika kita terus bersama itu akan membuat kita lebih tersakiti. Lebih baik dari sekarang aku melepaskanmu dengan penuh keikhlasan. Jujur aku sangat mencintai kamu, I do love you mas.”
“I love you too Zahra.”
Zahra tersenyum dalam isak tangisnya
“Aku ingin belajar jadi manusia yang berpasrah diri pada Allah, aku ingin belajar ikhlas, belajar ikhlas menerima apapun yang Allah beri untukku.”
“Iya Zahra aku setuju, jika kamu terus belajar ikhlas kamu akan menjadi perempuan yang kuat, perempuan yang selalu percaya pada takdirNya.”
“Iya mas, aku sangat berterima kasih dengan kehadiran kamu dalam hidupku, karena aku sangat bahagia.”
“Cinta itu akan tumbuh subur jika setiap saat selalu di pupuk.”

Jika takdir sudah berkehendak, maka tidak ada apapun yang bisa memisahkan, melalui pesan ini ku kembalikan hati yang pernah ku jaga, ku kembalikan nama yang bertahun membuatku tersenyum juga menangis. Ku kembalikan kisah pada keindahan skenario-Nya.
  Zahra mengirim pesannya pada Gi dengan mengambil kalimat dari sebuah tulisan yang pernah ia baca, baginya tak ada yang perlu disesali dari sebuah perasaan yang menyesakan dalam suatu perpisahan, karena fitrahnya manusia mengalami itu. Tapi membiarkan rasa sesak berlarut dalam penantian juga tidak baik. Lebih baik menyibukan diri belajar, menyibukan diri memperbaiki kualitas hati dan diri, menyibukan diri bercerita bersama senyuman-senyuman dari wajah-wajah yang belum berdosa.
Tidak ada kata move on dalam kamus hidup Zahra, ia hanya membiasakan diri bersikap biasa pada Gi, meski kadang rasa rindu selalu menyesakan dinding ruang hatinya. Ia merasa tidak pernah patah hati maupun menyesal atas keputusannya berpisah dengan Gi, keputusannya untuk mengakhiri sebuah hubungan cintanya yang sedang mekar dengan Gi adalah semata-mata untuk memperbaiki dirinya, untuk hijrah hati, hijrah dari mencintai hatinya manusia pada cintaNya pemilik hati.
Jika suatu saat nanti Zahra kembali jatuh hati dan akan kembali menangis lagi, ia menangis bukan karena patah hati tapi karena ia bahagia bisa melepaskan dia yang belum pasti untuk Dia dan bisa mencintai dia karena Dia. Ia tahu bahwa takdir Tuhan tidak akan tertukar.


Komentar

  1. Cerita ini ngingetin saya sama sebuah buku best seller karangan Umar yg judulnya Sandiwara langit. Yg membedakan, disini statusnya mempisahkan perpisahan sblm pernikahan, kalo di SL kebalikannya.

    Semangat berkarya mba nauraa... Keren tulisannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak... Saya blm pernah baca SL tapi saya mengambil beberapa cuplikan diambil dari sebuah tulisan yg pernah saya baca ❤️❤️❤️❤️

      Hapus
  2. Kerennn. Suka, semoga jodohnya mereka..

    BalasHapus
  3. Benar takdir Tuhan tidak akan tertukar

    BalasHapus
  4. Wah... keren keren.
    Jodoh tidak akan kemana2 dan tidak akan tertukar

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Assalamu'alaikum

Apa kabar, yang masih Allah tutup dengan tabirnya, apa kabar imannya dan imanku hari ini? Apakah masih sama dangkalnya seperti hari kemarin? Mungkin saja begitu.  Bukan tak ingin membuka hati, tapi Allah maha membolak balikan hati hambaNya. Ia pasti tahu dimana hati itu akan berhenti.  Tak perlu mencari-cari sebab dia sudah ada di lauhul mahfudz.  Tak perlu menerka-nerka sebab dia sudah nyata, hanya saja masih rahasiaNya.  Allah menundanya, sebab Allah ingin kau mendapatkan yang jauh lebih baik dari apa yang kau pinta, karena itu Ia perbaiki dulu dirimu dan perbaiki dulu dirinya, agar ketika sudah sama-sama menjadi baik, Ia menyatukan Insyaa Allah.  Mungkin seperti itulah sederhananya. Tersusun, terkonsep, dan terealisasi tahap demi tahap dengan penuh kejutan πŸ’«πŸ’«πŸ‘‘πŸŽπŸ’πŸ’Œ

keutamaan Sholat Tahajjud

*OPEN RECRUITMENT* Bergabunglah bersama kami di : *KOMUNITAS TAHAJJUD BERANTAI* *(KUTUB)* Sholat Tahajjud memiliki manfaat yang sangat besar jika dikerjakan secara rutin setiap malam. Karena manfaat ini pula, mengapa sehingga sholat tahajjud sangat dianjurkan bagi umat muslim. Banyak dalil-dalil, baik itu Al-Qur'an maupun hadis yang memberikan penjelasan tentang kandungan manfaat yang dimiliki oleh sholat sepertiga malam ini. Beberapa diantaranya seperti, penghapus dosa, pembuka rejeki, pengabul doa, dan masih banyak lagi. Tentunya, semua itu hanya dapat diraih jika kita rajin untuk bertahajud. Mungkin, ini pula yang menjadi sebab, Rasulullah di sepanjang hidupnya tidak pernah meninggalkan sholat tahajjud. Bahkan, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa, sebelum sholat lima waktu diwajibkan kepada Rasulullah, perintah melaksanakan sholat tahajjudlah yang pertama kali diterima oleh beliau dari Allah SWT. Lantas, apa manfaat dari melaksanakan sholat tahajjud? Beberapa dari manf

Nyi Roro Kidal

 Pada zaman dahulu ada sebuah kerajaan besar di Pulau Jawa. Rakyatnya hidup makmur dan sejahtera. Kerajaan itu dipimpin dengan bijaksana oleh Prabu Mundangwangi. Ia mempunyai permaisuri bernama Dewi Rembulan dan dikaruniai seorang putri yaitu Dewi Kadita yang sangat cantik. Pada zaman itu seorang raja biasanya mempunyai istri lain yang disebut selir. Demikian pula Prabu Mundangwangi, Ia mempunyai selir yang bernama Dewi Mutiara. Ternyata Dewi Mutiara memiliki sifat buruk karena Ia selalu merasa iri terhadap Dewi Rembulan. Pada suatu hari Pandita Agung menghadap Prabu Mundangwangi. Ia menyampaikan bahwa tidak lama lagi Prabu Mundangwangi akan memperoleh putra dari selirnya, yaitu Dewi Mutiara. Prabu Mundangwangi sangat bahagia karena Ia sudah lama menunggu lahirnya anak keturunannya. "Meskipun puteraku lahir dari rahim seorang selir, tetapi dengan wewenangku Ia akan kuangkat menjadi putera mahkota," kata Prabu Mundangwangi kepada Pandita Agung. Dewi Mutiara yang diam-diam