Langsung ke konten utama

Tabir Hujan


Mendung menggelayut menghiasi langit siang ini. Aku berlari menyusuri karidor sekolah menuju gerbang yang di biarkan terbuka pada jam pulang sekolah. Ku lirik arloji digital yang melilit di pergelangan tangan kiriku. Sudah menunjukan pukul satu lebih lima menit. Ku percepat laju langkahku. Biasanya angkutan umum yang biasa ku tumpangi akan melintas pukul satu lebih lima belas menit. Hap….. sampailah aku di depan pintu gerbang sekolah dan bersiap menanti angkutan umum yang akan membawaku pulang ke rumah.
“Buru-buru banget neng?” ujar penjaga sekolah yang melihatku ngos-ngosan.
“Iya pak takut keburu hujan.” Kataku ramah sambil mengatur napas dan berharap angkutan umum segera datang. Namun hingga menit ke dua puluh lima aku berdiri di depan gerbang, angkutan umum yang ku tunggu tak juga muncul. Aku mulai panik. Masalahnya tadi pagi aku menjemur baju yang akan ku pakai pada acara ulang tahun ibuku nanti malam. Warna  langit semakin pekat pertanda hujan akan segera turun.
Tik…tik…..tik…. satu persatu rintik air hujan mulai turun bersamaan dengan munculnya seorang cowok yang mendadak menghentikan motor gedenya.
“Hai masih kenal aku kan?” cowok itu menyapaku tanpa melepas helmnya. Aku menggeleng. Cowok itu turun dari motor dan membuka helmnya. Aku mengamatinya dengan seksama. Aku mulai mengingatnya.
“Pak Dika kan?’ tebakku. Dika itu cowok yang pernah magang di sekolahku sebagai guru bahasa Inggris. Dika pasti lebih mengenalku karena selama dia magang di sekolahku, aku sering di ajak pulang bareng dia. Meski aku sering menolak ajakan Dika tapi dia tidak pernah bosan menawariku tumpangan di motornya. Hingga suatu siang ketika mendung menyelimuti langit aku terpaksa pulang bareng Dika. Di perjalanan hujan turun dengan derasnya. Kami mampir di warung kopi yang menyediakan berbagai macam gorengan dan jagung bakar. Sambil menunggu hujan reda kami memesan dua buah jagung bakar. Waktu itu tak ada percakapan yang berarti selain hanya basa basi. Dan sekarang cowok itu muncul kembali di hadapanku.
“Ayo mau pulang bareng aku?” cowok  itu membuyarkan lamunanku. Sejenak aku merasa bingung.
“Ayo kenapa masih melamun?” cowok itu mengulangi tawarannya. Aku berfikir sejenak lalu tanpa sengaja kepalaku mengangguk perlalan. Di belakangku tampak penjaga sekolah tersenyum menggodaku.
Di tengah perjalanan hujan yang tadi hanya rintik-rintik kini mulai deras dan membuat bajuku basah.  Dika menghentikan motornya dan berteduh di gubuk kecil. Aku kecewa. Pikiranku masih melayang pada tujuan utama pulang ke rumah. Ingat dengan baju pesta yang akan ku pakai nanti malam.
“Kenapa diam aja?” Dika membuka percakapan. Aku menggelengkan kepala.
“Ada yang kamu pikirkan Mel?” Dika mulai mengorek sikap diamku.
“Enggak kok pak. Saya cuma ingin segera sampe ke rumah.” Ujarku.
“kenapa?” Tanya Dika penasaran.
“Saya sedang menjemur baju untuk menyambut ulang tahun ibuku malam nanti.”
“Tapi hujan sangat deras dan bisa jadi baju yang kamu jemur sudah basah kuyup.”
Aku semakin merasa kecewa dengan apa yang di ucapkan oleh Dika.
“Tapi kamu tidak usah khawatir! Setelah hujan reda kita mencari solusinya.” Dika tersenyum menatapku. Aku membalasnya meski perasaanku belum bisa lega. Perapian di depan gubuk itu cukup menghangatkanku.
“Aku menunggu saat-saat seperti ini.” Ujar Dika sambil menyalakan kembali perapian.
“Maksud pak Dika?” aku mengerutkan kening.
“Aku selalu berharap bisa bertemu kamu.” Dika menatapku penuh arti. Aku semakin tidak mengerti maksud dia.
“Amel.” Dika meraih tanganku untuk beberapa saat lalu melepaskannya perlahan. Tatapannya beralih pada ransel hitam miliknya. Seperti sedang mengingat sesuatu di dalam ransel tersebut. Ia mengeluarkan dua buah jagung dari ranselnya lalu menyerahkannya satu padaku.
“Ayo kita bakar jagung ini!” Dika mendekati perapian yang mulai membesar. Aku mengikuti.
“Apa kamu masih ingat musim hujan tahun lalu?”
“Iya aku masih sangat mengingatnya.” Ujarku.
v   
Pukul tiga hujan mulai reda dan berganti pelangi yang melengkung kearah utara. Aku tidak segera pulang karena Dika mengajakku ke sebuah butik milik kerabat ibunya. Aku memilih pakaian yang paling sederhana tapi terkesan elegan.
Pukul tujuh rincik hujan mulai menghiasi malam. Aku dan teman-temanku sudah bersiap untuk memberikan kejutan pada ibuku. Lampu ruang tamu di matikan, aku bergegas ke kamar ibu dan memaksa ibu untuk mengantarku ke ruang tamu dengan alasan ruang tamu gelap sekali. Ibu menurut.
“Happy birth to you… happy birth day to you...” lampu di nyalakan dan lagu happy birth day menggema di ruangan tamu. Ibuku sangat terkejut dan akupun ikut terkejut karena selain teman-temanku ternyata hadir seorang cowok tampan dengan membawa sebuah kado dan seikat bunga.”
“Pak Dika.” Seruku kaget.
“Selamat ulang tahun tante.” Dika menyalami ibuku. Teman-temankupun begitu.
Usai acara ulang tahun ibuku Dika mengajakku ke teras depan. Di luar gemerincik hujan masih terdengar sahdu.
“Amel aku sangat mencintaimu. Maukah kamu menerima cintaku?”
Aku menggangguk perlahan dengan senyum yang merekah. Hujanpun menjadi saksi bisu. Hujan yang selama ini selalu ku hindari ternyata membuka tabir dan membawa segenggam cinta untukku.




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review

Judul:  Heart Block Penulis: Okke Sepatumerah Penerbit: GagasMedia Senja  Hadiningrat mengawali karirnya dari sebuah novel pertamanya berjudul Omnibus, ia berhasil meraih juara pertama dalam festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru   Berbakat. Ia mendapat kesempatan memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program menulis kreatif, tetapi novel yang ditulisnya tak sebagus novel pertamanya, hingga dewan juri membanding-bandingkannya dengan Omnibus.  Senja dibanjiri tawaran menulis. Tasya sang kakak tiri menobatkan diri sebagai manager Senja, ia menyarankan Senja menerima tawaran dari penerbit lain yang bekerja sama dengan sebuah merk fashion sepatu perempuan. Singkatnya, Senja harus menulis novel urban yang mengandung unsur promosi produk sepatu tersebut. Karya Senja itu pun meledak di pasaran. Banyak kaum muda khususnya perempuan yang menyukai novel tersebut. Seiring dengan melejitnya karir Senja sebagai penulis, kesibukannya pun bertambah. Ia wajib mengikuti kegi

Kotak Kosong

Kotak Kosong Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di bibir pantai selatan. Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden. Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam. “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” ujar Randy pada sahabatnya “Sudah ajalnya begitu.” “Tapi aku mencurigai satu nama disini.” “Siapa?” tanya Abdul “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong, kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik Randy persis di daun teli

Untuk Sebuah Cinta Suci

Allahumma shoyyiban nafi’aan Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra. “Sudah tidak terlalu dingin kan?” Zahra menggelengkan kepala. “Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!” “Masih males gerakin tangan.” “Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra. “Bisa sendiri kok.” “Siapa juga yang mau suapin kamu.” “Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit. “Ra,” “Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa. “Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.   “Ra apa kamu yakin dengan keputusan