Sesuai janji Arian, tepat jam 9 pagi Zahra sudah berada di depan perpustakaan, tapi ia belum melihat sosok Arian. ia berjalan ke dalam perpuastakaan melewati beberapa rak buku, berharap Arian sudah menunggunya di pojok ruang perpustakaan tempat favorit mereka. Tapi seketika hati Zahra mencelos, ruangan tempat mereka kosong, ia tidak menemukan Arian disana. Ia memutuskan untuk duduk di teras perpustakaan sambil menunggu Arian.
Ponsel Zahra bergetar, ada pesan masuk.
Maaf aku telat, tapi aku sudah mengutus teman-teman untuk menemani kamu. From: Arian
Sebelum Zahra membalas pesan Arian, teman-teman Arian sudah berada di depan perpustakaan.
“Sabar ya Zahra, Arian masih ada kepentingan.”
“Kepentingan apa kak?”
“Dea menahan Arian untuk tidak pergi sama kita.” Kata Elis
“Kok gitu, kenapa ga sekalian ikut aja?”
“Kita juga bingung, Dea maunya apa.” Sahut Elis dengan nada kesal
“Ya udah aku samperin aja ya.”
“Ga usah Zahra.”
“Kak Dea sama kak Arian pacaran ya kak?”
“Enggak.” Tukas Atory cepat
“Iya, Dea kemarin yang nembak Arian.” Jawab Elis keceplosan
“Tapi Arian hanya menganggap Dea teman, Arian sudah memiliki target yang sudah dia incar sejak lama.”
“Kemarin aku memergoki kak Dea sedang memegang tangan kak Arian di ruang osis.” Kata Zahra santai. Ia menghela nafas lembut, ada perasaan yang sangat mengganjal di hatinya. Ada perasaan nyesek yang sulit di lukiskan dengan kata-kata, namun di sembunyikannya.
“Sabar ya!” Alfi menepuk bahu Zahra. Diam-diam Alfi tahu kalau Zahra menyukai Arian. Alfi juga tahu di kelasnya bukan Cuma Dea yang menyukai Arian, tapi Elis juga menaruh hati pada Arian. Hanya Dea yang berani mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Setelah menunggu lebih dari satu jam, Arian datang bersama Dea dan Budhi
“Sudah menunggu lama, tapi tetep aja sama dia, kenapa tidak sejak tadi?” Zahra menggerutu di dekat telinga Arian sambil cemberut.
“Iya sorry.” Bisik Arian
Sepanjang perjalanan Zahra menyandarkan kepalanya pada bahu Arian, ia ingin membuat Dea kesal sebagaimana ia merasa kesal karena harus menunggu selama satu jam. Lama kelamaan ia merasa sangat nyaman bersandar di bahu Arian hingga tertidur selama beberapa menit. Sementara hati Arian merasa risih karena terus menerus di lirik Dea.
“Emang disana mau ngomong apa kak?” tanya Zahra dengan mimik wajah yang di buat semanja mungkin
Arian tidak segera menjawab, rasa serba salah menyelimuti hati dan pikirannya, sebenernya ia merasa gemes melihat tingkah manja Zahra, ingin sekali ia mencubit hidung Zahra yang mancung ke dalam, tapi sayang disana ada Dea yang membatasi ruang gerak Arian. Arian merasa kebebasannya terampas keadaan, ia merasa tidak enak dengan Dea.
Dea menatap Zahra dengan tatapan marah bercampur cemburu, ia selalu memalingkan wajahnya ketika Zahra melempar senyuman pada Dea, tapi Dea selalu bersikap manis pada Zahra ketika Arian melihat mereka bersama.
Jalan menuju curug lumayan jauh dari jalan raya, untuk sampai di sana hanya bisa di lalui dengan menggunakan kendaraan roda dua atau jalan kaki. Mereka lebih memilih berjalan kaki, melewati turunan dan tanjakan. Zahra memberikan kesempatan pada Dea untuk dekat-dekat dengan Arian, ia merasa sudah cukup puas membuat Dea kesal dengan melihatnya bercanda manja selama perjalanan. Zahra bergabung dengan teman-teman Arian yang lain, berjalan sambil bercanda dengan riang gembira.
“Main balap lari yuk.” Cetus Budhi memberikan ide yang langsung di iyakan oleh Atory dan yang lainnya.
“Iya biar cepat sampai.”
“Tapi aku gendong tas, susah larinya.” Keluh Zahra.
Atory segera mengambil alih tas Zahra, lalu menyerahkannya pada Arian
“Lu ga ikut lomba lari kan?” tanya Atory pada Arian
“Tidak.” Jawab Arian singkat dan padat
Zahra lari lebih dulu dengan kecepatan yang di paksakan. Ia sudah jauh di depan meninggalkan teman-teman yang lainnya, tetapi ia juga hampir kehabisan tenaga kalau saja Atory tidak segera menodorkan air mineral padanya.
“Makanya larinya santai aja!”
“Masih jauh ga?” tanya Zahra penasaran
“Lumayan.”
Zahra memacu langkahnya lebih cepat tetapi bukan berlari, di depannya ia seperti melihat jalan yang buntu di tepi jurang tidak jauh dari pemukiman warga. Matanya yang lincah langsung menatap ke arah yang di anggapnya jurang.
“Wow indah banget.” Seru Zahra sambil menunjuk pemandangan di bawah kakinya
“Surga yang tersembunyi.” Kata Atory tak kalah antusias
“Untuk turun ke bawah kita harus mutar kesana dan bawa tongkat.” Ujar warga yang bersedia memandu perjalanan mereka.
Zahra menunggu Arian untuk mengambil tasnya. Ia berjalan perlahan dengan beban di punggungnya menuruni tebing yang banyak di hiasi kerikil. Ia terpeleset dan terlempar sejauh dua meter, Arian dengan sigap segera mengambil alih tas Zahra dan menuntunnya untuk berdiri.
“Tidak apa-apa kan? Ada yang sakit ga?” tanya Arian khawatir
“Tidak apa-apa.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih hati-hati. Tiba-tiba Elis yang berjalan di belakang terpeleset dan terlempar lebih jauh ke bawah, darah segar mengalir dari pelipisnya, ia terkena kerikil yang tajam, Elis memejamkan mata untuk melindungi matanya dari debu.
“Elis.” Teriak mereka. Zahra segera mengambil kotak P3k dari tasnya, membalur pelipis Elis dengan alkohol dan meneteskan obat merah lalu membalutnya dengan kasa.
“Masih kuat jalan kan?” tanya Atory sambil memapah Elis
Di curug cinta mereka bercanda dan tertawa bersama, hanya antara Zahra dan Dea yang terlihat tidak bisa tertawa lepas, mereka seperti memiliki tembok penghalang yang tebal, tembok penghalang itu adalah Arian.
Arian selalu mencari kesempatan untuk berbicara empat mata denga Zahra, tetapi Dea selalu hadir mengikuti mereka. Berkali-kali Arian mengirim kode pada Atory dan Alfi agar mengajak Dea ke tempat lain, tetapi sepertinya sinyal telepati mereka sedang lemah sehingga mereka tidak bisa menangkap maksud Arian.
Curug Kebo, surga yang tersembunyi
Mereka datang dengan seragam sekolahnya, dengan wajah-wajah polosnya, dengan ego remajanya, mereka menapakan kaki dalam kerikil-kerikil licin, bertafakur dan melebur dengan keindahan alam ciptaan Allah. Dalam semilir angin, di atas batu yang di saksikan oleh air nan jernih dan alam yang masih perawan mereka mengikrar janji untuk datang kembali dengan jas almamaternya, dengan toganya, dengan kekasihnya, dengan istri atau suaminya, dengan anak-anaknya bahkan dengan cucu-cucunya.
Ponsel Zahra bergetar, ada pesan masuk.
Maaf aku telat, tapi aku sudah mengutus teman-teman untuk menemani kamu. From: Arian
Sebelum Zahra membalas pesan Arian, teman-teman Arian sudah berada di depan perpustakaan.
“Sabar ya Zahra, Arian masih ada kepentingan.”
“Kepentingan apa kak?”
“Dea menahan Arian untuk tidak pergi sama kita.” Kata Elis
“Kok gitu, kenapa ga sekalian ikut aja?”
“Kita juga bingung, Dea maunya apa.” Sahut Elis dengan nada kesal
“Ya udah aku samperin aja ya.”
“Ga usah Zahra.”
“Kak Dea sama kak Arian pacaran ya kak?”
“Enggak.” Tukas Atory cepat
“Iya, Dea kemarin yang nembak Arian.” Jawab Elis keceplosan
“Tapi Arian hanya menganggap Dea teman, Arian sudah memiliki target yang sudah dia incar sejak lama.”
“Kemarin aku memergoki kak Dea sedang memegang tangan kak Arian di ruang osis.” Kata Zahra santai. Ia menghela nafas lembut, ada perasaan yang sangat mengganjal di hatinya. Ada perasaan nyesek yang sulit di lukiskan dengan kata-kata, namun di sembunyikannya.
“Sabar ya!” Alfi menepuk bahu Zahra. Diam-diam Alfi tahu kalau Zahra menyukai Arian. Alfi juga tahu di kelasnya bukan Cuma Dea yang menyukai Arian, tapi Elis juga menaruh hati pada Arian. Hanya Dea yang berani mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Setelah menunggu lebih dari satu jam, Arian datang bersama Dea dan Budhi
“Sudah menunggu lama, tapi tetep aja sama dia, kenapa tidak sejak tadi?” Zahra menggerutu di dekat telinga Arian sambil cemberut.
“Iya sorry.” Bisik Arian
Sepanjang perjalanan Zahra menyandarkan kepalanya pada bahu Arian, ia ingin membuat Dea kesal sebagaimana ia merasa kesal karena harus menunggu selama satu jam. Lama kelamaan ia merasa sangat nyaman bersandar di bahu Arian hingga tertidur selama beberapa menit. Sementara hati Arian merasa risih karena terus menerus di lirik Dea.
“Emang disana mau ngomong apa kak?” tanya Zahra dengan mimik wajah yang di buat semanja mungkin
Arian tidak segera menjawab, rasa serba salah menyelimuti hati dan pikirannya, sebenernya ia merasa gemes melihat tingkah manja Zahra, ingin sekali ia mencubit hidung Zahra yang mancung ke dalam, tapi sayang disana ada Dea yang membatasi ruang gerak Arian. Arian merasa kebebasannya terampas keadaan, ia merasa tidak enak dengan Dea.
Dea menatap Zahra dengan tatapan marah bercampur cemburu, ia selalu memalingkan wajahnya ketika Zahra melempar senyuman pada Dea, tapi Dea selalu bersikap manis pada Zahra ketika Arian melihat mereka bersama.
Jalan menuju curug lumayan jauh dari jalan raya, untuk sampai di sana hanya bisa di lalui dengan menggunakan kendaraan roda dua atau jalan kaki. Mereka lebih memilih berjalan kaki, melewati turunan dan tanjakan. Zahra memberikan kesempatan pada Dea untuk dekat-dekat dengan Arian, ia merasa sudah cukup puas membuat Dea kesal dengan melihatnya bercanda manja selama perjalanan. Zahra bergabung dengan teman-teman Arian yang lain, berjalan sambil bercanda dengan riang gembira.
“Main balap lari yuk.” Cetus Budhi memberikan ide yang langsung di iyakan oleh Atory dan yang lainnya.
“Iya biar cepat sampai.”
“Tapi aku gendong tas, susah larinya.” Keluh Zahra.
Atory segera mengambil alih tas Zahra, lalu menyerahkannya pada Arian
“Lu ga ikut lomba lari kan?” tanya Atory pada Arian
“Tidak.” Jawab Arian singkat dan padat
Zahra lari lebih dulu dengan kecepatan yang di paksakan. Ia sudah jauh di depan meninggalkan teman-teman yang lainnya, tetapi ia juga hampir kehabisan tenaga kalau saja Atory tidak segera menodorkan air mineral padanya.
“Makanya larinya santai aja!”
“Masih jauh ga?” tanya Zahra penasaran
“Lumayan.”
Zahra memacu langkahnya lebih cepat tetapi bukan berlari, di depannya ia seperti melihat jalan yang buntu di tepi jurang tidak jauh dari pemukiman warga. Matanya yang lincah langsung menatap ke arah yang di anggapnya jurang.
“Wow indah banget.” Seru Zahra sambil menunjuk pemandangan di bawah kakinya
“Surga yang tersembunyi.” Kata Atory tak kalah antusias
“Untuk turun ke bawah kita harus mutar kesana dan bawa tongkat.” Ujar warga yang bersedia memandu perjalanan mereka.
Zahra menunggu Arian untuk mengambil tasnya. Ia berjalan perlahan dengan beban di punggungnya menuruni tebing yang banyak di hiasi kerikil. Ia terpeleset dan terlempar sejauh dua meter, Arian dengan sigap segera mengambil alih tas Zahra dan menuntunnya untuk berdiri.
“Tidak apa-apa kan? Ada yang sakit ga?” tanya Arian khawatir
“Tidak apa-apa.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih hati-hati. Tiba-tiba Elis yang berjalan di belakang terpeleset dan terlempar lebih jauh ke bawah, darah segar mengalir dari pelipisnya, ia terkena kerikil yang tajam, Elis memejamkan mata untuk melindungi matanya dari debu.
“Elis.” Teriak mereka. Zahra segera mengambil kotak P3k dari tasnya, membalur pelipis Elis dengan alkohol dan meneteskan obat merah lalu membalutnya dengan kasa.
“Masih kuat jalan kan?” tanya Atory sambil memapah Elis
Di curug cinta mereka bercanda dan tertawa bersama, hanya antara Zahra dan Dea yang terlihat tidak bisa tertawa lepas, mereka seperti memiliki tembok penghalang yang tebal, tembok penghalang itu adalah Arian.
Arian selalu mencari kesempatan untuk berbicara empat mata denga Zahra, tetapi Dea selalu hadir mengikuti mereka. Berkali-kali Arian mengirim kode pada Atory dan Alfi agar mengajak Dea ke tempat lain, tetapi sepertinya sinyal telepati mereka sedang lemah sehingga mereka tidak bisa menangkap maksud Arian.
Curug Kebo, surga yang tersembunyi
Mereka datang dengan seragam sekolahnya, dengan wajah-wajah polosnya, dengan ego remajanya, mereka menapakan kaki dalam kerikil-kerikil licin, bertafakur dan melebur dengan keindahan alam ciptaan Allah. Dalam semilir angin, di atas batu yang di saksikan oleh air nan jernih dan alam yang masih perawan mereka mengikrar janji untuk datang kembali dengan jas almamaternya, dengan toganya, dengan kekasihnya, dengan istri atau suaminya, dengan anak-anaknya bahkan dengan cucu-cucunya.
Komentar
Posting Komentar