Langsung ke konten utama

Pelangi Di Balik Kerudung merah Jambu eps 2

Di sudut ruangan perpustakaan tampak Zahra dan Arian asyik bercanda dan tertawa, di sudut ruangan lainnya ada mata yang memandang mereka dengan tatapan marah, kecewa dan sedih, tetapi Zahra dan Arian tidak menyadarinya, mereka makin asyik bercanda sambil sesekali Zahra menjitak kepala Arian dengan pulpen. Arian membalas jitakan Zahra dengan mencoret hidung Zahra pakai spidol permanen.
“Kak Arian curang.” Ujar Zahra sambil membersihkan hidungnya dengan tisu basah.
“Biarin.” Kata Arian sambil memelet lidahnya.
“Ya sudah ga aku beresin nih belajarnya bahasa Inggrisnya.”
“Paling bisa deh ngancemnya, iya deh ga curang lagi.”
“Awas kalo curang lagi.”
“Bedaknya luntur tuh, habis kebawa tisu.”
“Ga masalah, tetep cantik kok.”
Mereka kembali asyik dengan buku dan pulpennya.
Sepuluh menit berlalu, mereka fokus dengan belajarnya
“Arian, malah mojok disini ternyata, kita-kita nyariin.” Seru segerombolan cewek-cewek anggun.
Arian dan Zahra kompak menoleh kearah suara cewek-cewek yang sudah berdiri di sebelah mereka.
“Halo mbak, ayo duduk sini.”
“Eh Alfi, Rini dan Elis ada apa?”
“Enggak, Cuma berasa kehilangan aja kalo di kelas ga ada Arian.”
Arian hanya tertawa menanggapi teman-temannya.
“Halo Zahra.” Seru Alfi.
“Iya mbak Alfi, apa kabar?”
“Baik.”
“Alfi kok kenal Zahra?” Tanya Arian sambil mengerutkan kening.
“Arian kepo deh.”
“Dea nangis Ar.” Ujar Elis.
“Nangis kenapa Lis?”
Elis hanya mangangkat bahunya pertanda tidak tahu penyebab Dea menangis. Tapi Alfi cukup mengerti mengapa Dea menangis.
“Tadi Dea dari sini.” Kata Alfi.
“Tadi Dea disini?” ulang Arian. Alfi mengangguk. Sejenak Arian tampak berfikir, entah apa yang dia pikirkan. Zahra tidak tahu, tapi saat itu jaringan di sekujur tubuh Zahra mengirim sinyal cemburu pada Arian. Arian menatap Zahra dan meraih tangannya.
“Terima kasih ya untuk pagi ini, kamu mau kan jadi adik aku?”
Zahra diam dengan senyum yang di kulum malu-malu.
“Aku antar kamu ke kelas ya, sebentar lagi bel.”
Sejak siang itu Arian menobatkan Zahra sebagai adik manisnya. Ikrar yang mereka ucapkan adalah bahwa mereka akan selalu bersama-sama, dan Arian akan selalu menjaga Zahra hingga Arian lulus sekolah. Tidak lupa Arian memberikan coklat pertamanya untuk Zahra.
“Hore jadi nambah orang yang ngasih aku cokelat”. Seru Zahra bersorak senang.
Dea masih menangis ketika Arian, Alfi, Elis dan Rini menghampirinya. Semua penghuni kelas menggelengkan kepala ketika di tanya penyebab Dea menangis.
“Ayo Arian coba hibur Dea mungkin dia lagi sedih.” Alfi mendorong Arian mendekat pada Dea. Tapi Arian masih memilih berdiri tanpa kata, dia berfikir dirinya tidak punya keahlian dalam urusan menghibur cewek.
Bel masuk telah berdentang tiga kali, waktu istirahat pertama telah berakhir. Zahra masuk kelas dengan wajah ceria, sementara Arian duduk menatap coretan-coretan hasil keisengan tangan Zahra di bukunya.
Cewek ini lucu, cerdas, penuh semangat dan sedikit jail. Arian senyum-senyum sendiri mengenang kebersamaannya dengan Zahra. Tanpa sadar tangannya menuliskan nama Haura Azzahra di bawah bukunya.
“Stttt kok ngelamun sebentar lagi ada guru tuh.” Atory menyikut bahu Arian dari bangku sebelah.
“Eh lu ngagetin aja.”
“Siapa yang ngagetin, gua ngingetin, lagian malah ngelamun, ngelamunin siapa?” Atory melirik ke buku Arian.
“Lu udah jadian sama cewek itu?”
“Belumlah, dia kenal gua aja baru kemarin, tapi gua udah bilang ke dia kalo gua mau jadi kakaknya dia.”
“Terus respon dia apa?”
“Dia mau.”
“Tapi orang yang dia anggap kakak di sekolah itu banyak dan lu ga bakal di prioritaskan sama sekali.”
“Gua tau, tapi rata-rata cowok yang dia anggap kakak itu kelas XII, beberapa bulan lagi mereka lulus, dan gue bisa tembak dia tahun depan, gue udah punya tempat yang keren abis buat ungkapin perasaan gue.”
“Keren dah lu, udah niat banget.”
“Gue udah ngincer dia sejak dia SMP, gue nunggu dia lulus SMP dan berharap dia melanjutkan sekolah di sini, dan harapan gue terkabul man.”
Arian memang sudah mengincar Zahra sejak Zahra masih SMP, Arian mengenal Zahra ketika acara latihan pramuka di halaman sekolah, ketika itu Zahra sedang memberikan materi pramuka pada adik-adik juniornya. Arian menyukai cara Zahra menyampaikan materi yang terkesan seolah-olah ia sedang belajar bersama adik-adik juniornya bukan seperti orang yang sedang memberikan materi.
Setelah itu Arian selalu mengintai Zahra diam-diam, ia mengintai semua tentang Zahra, sampai ia tahu dimana rumah Zahra, dengan siapa Zahra berangkat dan pulang sekolah, apa saja yang sering di lakukan Zahra di sekolah dan setelah sekolah,
“Gila lu bro, selama ini ternyata lu ngincer cewek itu, padahal cewek itu setiap hari lewat di depan kelas kita.”
“Justru itu hanya dia yang setiap hari lewat depan kelas kita, dan setiap hari juga dia lewat di depan hati gue, sampai hati gue bilang kalo gue jatuh hati sama dia, bahkan gue jatuh cinta dengan apapun yang dia sukai.”
“Iya sih gue juga tau, menurut gue cewek itu cerdas, setiap rapat osis dia selalu memberikan argumen maupun solusi, lalu cara jalannya juga cekatan, jadi wajar kalo lu demen.”
“Ah kok lu sampe detail gitu perhatiin dia?” tanya Arian curiga. Atory tertawa terbahak memamerkan gigi putihnya yang terawat
“Gimana ga gua perhatiin, tiap hari lewat di depan idung gue, ga gue perhatiin aja pasti kelihatan keles.”
“Iya sih.” Arian menggaruk kepalanya yang tidak gatal
“Terus lu mau bantuin gue kan?”
“Tentu saja bro, gue sohib lu yang akan selalu siap bantu lu, apa yang harus gue kerjakan?”
“Gue mau lu ambil gambar dia dimanapun.”
Arian menyerahkan kamera pocket pada Atory.

******
“Sudah dapat berapa gaya fotonya?” tanya Arian saat Atory menyampaikan laporan. Atory membuka amplop berwarna cokelat dan mengeluarkan beberapa lembar foto ukuran 5 R.
“Keren deh kerjaan lu.”
Sejenak Arian memandangi foto seorang cewek berseragam putih abu-abu yang sedang memegang selembar teks puisi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review

Judul:  Heart Block Penulis: Okke Sepatumerah Penerbit: GagasMedia Senja  Hadiningrat mengawali karirnya dari sebuah novel pertamanya berjudul Omnibus, ia berhasil meraih juara pertama dalam festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru   Berbakat. Ia mendapat kesempatan memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program menulis kreatif, tetapi novel yang ditulisnya tak sebagus novel pertamanya, hingga dewan juri membanding-bandingkannya dengan Omnibus.  Senja dibanjiri tawaran menulis. Tasya sang kakak tiri menobatkan diri sebagai manager Senja, ia menyarankan Senja menerima tawaran dari penerbit lain yang bekerja sama dengan sebuah merk fashion sepatu perempuan. Singkatnya, Senja harus menulis novel urban yang mengandung unsur promosi produk sepatu tersebut. Karya Senja itu pun meledak di pasaran. Banyak kaum muda khususnya perempuan yang menyukai novel tersebut. Seiring dengan melejitnya karir Senja sebagai penulis, kesibukannya pun bertambah. Ia wajib mengikuti kegi

Kotak Kosong

Kotak Kosong Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di bibir pantai selatan. Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden. Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam. “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” ujar Randy pada sahabatnya “Sudah ajalnya begitu.” “Tapi aku mencurigai satu nama disini.” “Siapa?” tanya Abdul “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong, kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik Randy persis di daun teli

Untuk Sebuah Cinta Suci

Allahumma shoyyiban nafi’aan Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra. “Sudah tidak terlalu dingin kan?” Zahra menggelengkan kepala. “Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!” “Masih males gerakin tangan.” “Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra. “Bisa sendiri kok.” “Siapa juga yang mau suapin kamu.” “Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit. “Ra,” “Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa. “Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.   “Ra apa kamu yakin dengan keputusan