Di sudut ruangan perpustakaan tampak Zahra dan Arian asyik bercanda dan tertawa, di sudut ruangan lainnya ada mata yang memandang mereka dengan tatapan marah, kecewa dan sedih, tetapi Zahra dan Arian tidak menyadarinya, mereka makin asyik bercanda sambil sesekali Zahra menjitak kepala Arian dengan pulpen. Arian membalas jitakan Zahra dengan mencoret hidung Zahra pakai spidol permanen.
“Kak Arian curang.” Ujar Zahra sambil membersihkan hidungnya dengan tisu basah.
“Biarin.” Kata Arian sambil memelet lidahnya.
“Ya sudah ga aku beresin nih belajarnya bahasa Inggrisnya.”
“Paling bisa deh ngancemnya, iya deh ga curang lagi.”
“Awas kalo curang lagi.”
“Bedaknya luntur tuh, habis kebawa tisu.”
“Ga masalah, tetep cantik kok.”
Mereka kembali asyik dengan buku dan pulpennya.
Sepuluh menit berlalu, mereka fokus dengan belajarnya
“Arian, malah mojok disini ternyata, kita-kita nyariin.” Seru segerombolan cewek-cewek anggun.
Arian dan Zahra kompak menoleh kearah suara cewek-cewek yang sudah berdiri di sebelah mereka.
“Halo mbak, ayo duduk sini.”
“Eh Alfi, Rini dan Elis ada apa?”
“Enggak, Cuma berasa kehilangan aja kalo di kelas ga ada Arian.”
Arian hanya tertawa menanggapi teman-temannya.
“Halo Zahra.” Seru Alfi.
“Iya mbak Alfi, apa kabar?”
“Baik.”
“Alfi kok kenal Zahra?” Tanya Arian sambil mengerutkan kening.
“Arian kepo deh.”
“Dea nangis Ar.” Ujar Elis.
“Nangis kenapa Lis?”
Elis hanya mangangkat bahunya pertanda tidak tahu penyebab Dea menangis. Tapi Alfi cukup mengerti mengapa Dea menangis.
“Tadi Dea dari sini.” Kata Alfi.
“Tadi Dea disini?” ulang Arian. Alfi mengangguk. Sejenak Arian tampak berfikir, entah apa yang dia pikirkan. Zahra tidak tahu, tapi saat itu jaringan di sekujur tubuh Zahra mengirim sinyal cemburu pada Arian. Arian menatap Zahra dan meraih tangannya.
“Terima kasih ya untuk pagi ini, kamu mau kan jadi adik aku?”
Zahra diam dengan senyum yang di kulum malu-malu.
“Aku antar kamu ke kelas ya, sebentar lagi bel.”
Sejak siang itu Arian menobatkan Zahra sebagai adik manisnya. Ikrar yang mereka ucapkan adalah bahwa mereka akan selalu bersama-sama, dan Arian akan selalu menjaga Zahra hingga Arian lulus sekolah. Tidak lupa Arian memberikan coklat pertamanya untuk Zahra.
“Hore jadi nambah orang yang ngasih aku cokelat”. Seru Zahra bersorak senang.
Dea masih menangis ketika Arian, Alfi, Elis dan Rini menghampirinya. Semua penghuni kelas menggelengkan kepala ketika di tanya penyebab Dea menangis.
“Ayo Arian coba hibur Dea mungkin dia lagi sedih.” Alfi mendorong Arian mendekat pada Dea. Tapi Arian masih memilih berdiri tanpa kata, dia berfikir dirinya tidak punya keahlian dalam urusan menghibur cewek.
Bel masuk telah berdentang tiga kali, waktu istirahat pertama telah berakhir. Zahra masuk kelas dengan wajah ceria, sementara Arian duduk menatap coretan-coretan hasil keisengan tangan Zahra di bukunya.
Cewek ini lucu, cerdas, penuh semangat dan sedikit jail. Arian senyum-senyum sendiri mengenang kebersamaannya dengan Zahra. Tanpa sadar tangannya menuliskan nama Haura Azzahra di bawah bukunya.
“Stttt kok ngelamun sebentar lagi ada guru tuh.” Atory menyikut bahu Arian dari bangku sebelah.
“Eh lu ngagetin aja.”
“Siapa yang ngagetin, gua ngingetin, lagian malah ngelamun, ngelamunin siapa?” Atory melirik ke buku Arian.
“Lu udah jadian sama cewek itu?”
“Belumlah, dia kenal gua aja baru kemarin, tapi gua udah bilang ke dia kalo gua mau jadi kakaknya dia.”
“Terus respon dia apa?”
“Dia mau.”
“Tapi orang yang dia anggap kakak di sekolah itu banyak dan lu ga bakal di prioritaskan sama sekali.”
“Gua tau, tapi rata-rata cowok yang dia anggap kakak itu kelas XII, beberapa bulan lagi mereka lulus, dan gue bisa tembak dia tahun depan, gue udah punya tempat yang keren abis buat ungkapin perasaan gue.”
“Keren dah lu, udah niat banget.”
“Gue udah ngincer dia sejak dia SMP, gue nunggu dia lulus SMP dan berharap dia melanjutkan sekolah di sini, dan harapan gue terkabul man.”
Arian memang sudah mengincar Zahra sejak Zahra masih SMP, Arian mengenal Zahra ketika acara latihan pramuka di halaman sekolah, ketika itu Zahra sedang memberikan materi pramuka pada adik-adik juniornya. Arian menyukai cara Zahra menyampaikan materi yang terkesan seolah-olah ia sedang belajar bersama adik-adik juniornya bukan seperti orang yang sedang memberikan materi.
Setelah itu Arian selalu mengintai Zahra diam-diam, ia mengintai semua tentang Zahra, sampai ia tahu dimana rumah Zahra, dengan siapa Zahra berangkat dan pulang sekolah, apa saja yang sering di lakukan Zahra di sekolah dan setelah sekolah,
“Gila lu bro, selama ini ternyata lu ngincer cewek itu, padahal cewek itu setiap hari lewat di depan kelas kita.”
“Justru itu hanya dia yang setiap hari lewat depan kelas kita, dan setiap hari juga dia lewat di depan hati gue, sampai hati gue bilang kalo gue jatuh hati sama dia, bahkan gue jatuh cinta dengan apapun yang dia sukai.”
“Iya sih gue juga tau, menurut gue cewek itu cerdas, setiap rapat osis dia selalu memberikan argumen maupun solusi, lalu cara jalannya juga cekatan, jadi wajar kalo lu demen.”
“Ah kok lu sampe detail gitu perhatiin dia?” tanya Arian curiga. Atory tertawa terbahak memamerkan gigi putihnya yang terawat
“Gimana ga gua perhatiin, tiap hari lewat di depan idung gue, ga gue perhatiin aja pasti kelihatan keles.”
“Iya sih.” Arian menggaruk kepalanya yang tidak gatal
“Terus lu mau bantuin gue kan?”
“Tentu saja bro, gue sohib lu yang akan selalu siap bantu lu, apa yang harus gue kerjakan?”
“Gue mau lu ambil gambar dia dimanapun.”
Arian menyerahkan kamera pocket pada Atory.
******
“Sudah dapat berapa gaya fotonya?” tanya Arian saat Atory menyampaikan laporan. Atory membuka amplop berwarna cokelat dan mengeluarkan beberapa lembar foto ukuran 5 R.
“Keren deh kerjaan lu.”
Sejenak Arian memandangi foto seorang cewek berseragam putih abu-abu yang sedang memegang selembar teks puisi.
“Kak Arian curang.” Ujar Zahra sambil membersihkan hidungnya dengan tisu basah.
“Biarin.” Kata Arian sambil memelet lidahnya.
“Ya sudah ga aku beresin nih belajarnya bahasa Inggrisnya.”
“Paling bisa deh ngancemnya, iya deh ga curang lagi.”
“Awas kalo curang lagi.”
“Bedaknya luntur tuh, habis kebawa tisu.”
“Ga masalah, tetep cantik kok.”
Mereka kembali asyik dengan buku dan pulpennya.
Sepuluh menit berlalu, mereka fokus dengan belajarnya
“Arian, malah mojok disini ternyata, kita-kita nyariin.” Seru segerombolan cewek-cewek anggun.
Arian dan Zahra kompak menoleh kearah suara cewek-cewek yang sudah berdiri di sebelah mereka.
“Halo mbak, ayo duduk sini.”
“Eh Alfi, Rini dan Elis ada apa?”
“Enggak, Cuma berasa kehilangan aja kalo di kelas ga ada Arian.”
Arian hanya tertawa menanggapi teman-temannya.
“Halo Zahra.” Seru Alfi.
“Iya mbak Alfi, apa kabar?”
“Baik.”
“Alfi kok kenal Zahra?” Tanya Arian sambil mengerutkan kening.
“Arian kepo deh.”
“Dea nangis Ar.” Ujar Elis.
“Nangis kenapa Lis?”
Elis hanya mangangkat bahunya pertanda tidak tahu penyebab Dea menangis. Tapi Alfi cukup mengerti mengapa Dea menangis.
“Tadi Dea dari sini.” Kata Alfi.
“Tadi Dea disini?” ulang Arian. Alfi mengangguk. Sejenak Arian tampak berfikir, entah apa yang dia pikirkan. Zahra tidak tahu, tapi saat itu jaringan di sekujur tubuh Zahra mengirim sinyal cemburu pada Arian. Arian menatap Zahra dan meraih tangannya.
“Terima kasih ya untuk pagi ini, kamu mau kan jadi adik aku?”
Zahra diam dengan senyum yang di kulum malu-malu.
“Aku antar kamu ke kelas ya, sebentar lagi bel.”
Sejak siang itu Arian menobatkan Zahra sebagai adik manisnya. Ikrar yang mereka ucapkan adalah bahwa mereka akan selalu bersama-sama, dan Arian akan selalu menjaga Zahra hingga Arian lulus sekolah. Tidak lupa Arian memberikan coklat pertamanya untuk Zahra.
“Hore jadi nambah orang yang ngasih aku cokelat”. Seru Zahra bersorak senang.
Dea masih menangis ketika Arian, Alfi, Elis dan Rini menghampirinya. Semua penghuni kelas menggelengkan kepala ketika di tanya penyebab Dea menangis.
“Ayo Arian coba hibur Dea mungkin dia lagi sedih.” Alfi mendorong Arian mendekat pada Dea. Tapi Arian masih memilih berdiri tanpa kata, dia berfikir dirinya tidak punya keahlian dalam urusan menghibur cewek.
Bel masuk telah berdentang tiga kali, waktu istirahat pertama telah berakhir. Zahra masuk kelas dengan wajah ceria, sementara Arian duduk menatap coretan-coretan hasil keisengan tangan Zahra di bukunya.
Cewek ini lucu, cerdas, penuh semangat dan sedikit jail. Arian senyum-senyum sendiri mengenang kebersamaannya dengan Zahra. Tanpa sadar tangannya menuliskan nama Haura Azzahra di bawah bukunya.
“Stttt kok ngelamun sebentar lagi ada guru tuh.” Atory menyikut bahu Arian dari bangku sebelah.
“Eh lu ngagetin aja.”
“Siapa yang ngagetin, gua ngingetin, lagian malah ngelamun, ngelamunin siapa?” Atory melirik ke buku Arian.
“Lu udah jadian sama cewek itu?”
“Belumlah, dia kenal gua aja baru kemarin, tapi gua udah bilang ke dia kalo gua mau jadi kakaknya dia.”
“Terus respon dia apa?”
“Dia mau.”
“Tapi orang yang dia anggap kakak di sekolah itu banyak dan lu ga bakal di prioritaskan sama sekali.”
“Gua tau, tapi rata-rata cowok yang dia anggap kakak itu kelas XII, beberapa bulan lagi mereka lulus, dan gue bisa tembak dia tahun depan, gue udah punya tempat yang keren abis buat ungkapin perasaan gue.”
“Keren dah lu, udah niat banget.”
“Gue udah ngincer dia sejak dia SMP, gue nunggu dia lulus SMP dan berharap dia melanjutkan sekolah di sini, dan harapan gue terkabul man.”
Arian memang sudah mengincar Zahra sejak Zahra masih SMP, Arian mengenal Zahra ketika acara latihan pramuka di halaman sekolah, ketika itu Zahra sedang memberikan materi pramuka pada adik-adik juniornya. Arian menyukai cara Zahra menyampaikan materi yang terkesan seolah-olah ia sedang belajar bersama adik-adik juniornya bukan seperti orang yang sedang memberikan materi.
Setelah itu Arian selalu mengintai Zahra diam-diam, ia mengintai semua tentang Zahra, sampai ia tahu dimana rumah Zahra, dengan siapa Zahra berangkat dan pulang sekolah, apa saja yang sering di lakukan Zahra di sekolah dan setelah sekolah,
“Gila lu bro, selama ini ternyata lu ngincer cewek itu, padahal cewek itu setiap hari lewat di depan kelas kita.”
“Justru itu hanya dia yang setiap hari lewat depan kelas kita, dan setiap hari juga dia lewat di depan hati gue, sampai hati gue bilang kalo gue jatuh hati sama dia, bahkan gue jatuh cinta dengan apapun yang dia sukai.”
“Iya sih gue juga tau, menurut gue cewek itu cerdas, setiap rapat osis dia selalu memberikan argumen maupun solusi, lalu cara jalannya juga cekatan, jadi wajar kalo lu demen.”
“Ah kok lu sampe detail gitu perhatiin dia?” tanya Arian curiga. Atory tertawa terbahak memamerkan gigi putihnya yang terawat
“Gimana ga gua perhatiin, tiap hari lewat di depan idung gue, ga gue perhatiin aja pasti kelihatan keles.”
“Iya sih.” Arian menggaruk kepalanya yang tidak gatal
“Terus lu mau bantuin gue kan?”
“Tentu saja bro, gue sohib lu yang akan selalu siap bantu lu, apa yang harus gue kerjakan?”
“Gue mau lu ambil gambar dia dimanapun.”
Arian menyerahkan kamera pocket pada Atory.
******
“Sudah dapat berapa gaya fotonya?” tanya Arian saat Atory menyampaikan laporan. Atory membuka amplop berwarna cokelat dan mengeluarkan beberapa lembar foto ukuran 5 R.
“Keren deh kerjaan lu.”
Sejenak Arian memandangi foto seorang cewek berseragam putih abu-abu yang sedang memegang selembar teks puisi.
Komentar
Posting Komentar