Langsung ke konten utama

Kotak kosong

  • Kotak Kosong
    Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di desa Sukamanah.
    Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana
    duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol
    sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden.
    Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan
    diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam.
    “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” tanya Randy pada
    sahabatnya
    “Sudah jalannya begitu.”
    “Tapi aku mencurigai satu nama disini.”
    “Siapa?” tanya Abdul
    “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong,
    kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias
    banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik
    Randy persis di daun telinga Abdul, matanya melirik pada lelaki yang terkenal agamis dan sangat
    disegani warga.
    “Stttttt…….. jangan sembarangan kalau ngomong, nanti kalau beliau denger bisa habis
    leher kau.” Abdul mengingatkan sohibnya akan bahaya yang mengancam jika berani berbicara
    atau menuduh tanpa bukti. Sebagai warga pendatang di desa yang kental dengan sebutan tanah
    jawara, Abdul selalu berhati-hati dalam berkata maupun bertindak, begitulah sabda sang ibu
    setiap kali Abdul menyinggung soal tanah jawara.
    “Kenapa disini mesti seseram itu bu? padahal di sini banyak kiayi, banyak guru ngaji dan
    memiliki banyak tempat wisata yang indah. ” tanya Abdul ketika lidah sang ibu menelurkan
    kisah tentang tanah kelahiran neneknya. Di sini tanah para jawara, dulu masyarakat disini
    terkesan acuh, kurang terbuka dan melakukan segala sesuatu sekehendak hati sehingga desa ini
    di sebut Sukamanah, terjemahan dari karakter masyarakat yang suka bertindak sekehendak hati.
    Masyarakat disini memiliki karakter yang keras dan terkenal sebagai daerah jawara namun
    sangat religius, luasnya perkebunan kelapa sawit dan cokelat yang rimbun milik Perusahaan
    Terbatas Perkebunan Nusantara memudahkan para begal bersebunyi di semak-semak untuk
    menghadang korban yang lewat membawa sepeda motor selepas magrib.
    ******
    Malam menjelang pagi pak kades sudah terlelap dalam buaian mimpi, tiba-tiba pintu
    rumahnya di gedor dan di buka paksa oleh orang-orang tak di kenal. Istri pak kades yang baru
    menyadari ada tamu tak di undang tak mampu berbuat apa-apa ketika melihat suaminya di seret,
    di tendang dan di paksa memasuki sebuah mobil Daihatsu espass lalu di bawa pergi
  • “Tolong……. Tolong…… tolong…..” jeritan istri pak kades menggemparkan masyarakat
    yang tengah terlelap. Abdul dan Randy sebagai tetangga terdekat langsung bertindak
    “Ada apa bu kades?” tanya Abdul
    “Pak kades diculik.”
    “Oleh siapa bu kades?” tanya Randy, bu kades menggelengkan kepala.
    “Di bawa ke arah mana bu?”
    “Ke arah timur dengan mobil Daihatsu.”
    Gemparlah seisi kampung, Abdul dan Randy serta beberapa pemuda yang lainnya
    melakukan pengejaran menggunakan mini bus. Tak lupa Abdul memberitahu pihak kepolisian.
    “Itu penculiknya.” Tangan Abdul sudah siap membuka pintu mini bus untuk
    menghampiri mobil penculik yang tidak sanggup mendaki tanjakan.
    “Jangan Abdul! Bahaya mereka membawa senjata lengkap.” Beberapa tangan menahan
    tangan Abdul
    “Mereka bukan penculik sembarangan.” Ujar Randy ketakutan
    “Lalu bagaimana ini, percuma kita mengejar mereka kalau tidak bisa menyelamatkan pak
    kades.”
    “Sabar Abdul, kita tidak mungkin melawan mereka, kita harus mencari bantuan, kau
    mencatat nomor telpon kantor polisi kan?”
    Abdul mengangguk, ia segera mengeluarkan telpon gengamnya.
    “Batrenya hampir habis.”
    Kepanikan mulai menyerang mereka, apalagi mobil penculik sudah bergerak dan
    berhasil menaklukan tanjakan, mereka mengejar dari belakang dengan penuh waspada.
    “Catat di kertas nomornya sebelum ponsel mati, atau pindahkan ke ponsel yang lain.”
    Saran salah seorang pemuda
    Abdul mencari-cari kertas dan pulpen di dashboard mobil, ia menemukan secarik kertas
    nota yang sudah lusuh.
    “Mereka lolos.” Teriak Randy
    “Ayo kejar!”
    “Kau punya saudara di Cisolok kan, coba minta bantuan dia.” Ujar Randy pada pemuda
    yang duduk di sebelahnya.
    “Iya betul.”
  • Pemuda bernama Roni segera menghubungi keluarganya yang merupakan kepala
    keamanan di Cisolok. Beberapa menit kemudian Roni mendapat kabar bahwa para pemuda dan
    tukang ojek sudah siap menghadang mobil penculik dengan melintangkan sebuah minibus dan
    puluhan motor di tengah jalan. Mobil yang menculik pak kades tak bisa bergerak, puluhan motor
    telah mengepungnya dari semua arah. Abdul, Randy dan beberapa pemuda yang lainnya segera
    menghampiri mobil penculik, namun di dalam mobil Daihatsu espass pak kades sudah tidak ada.
    “Dimana pak kades?” tanya Abdul pada salah seorang yang berada di mobil Daihatsu.
    “Iya, pak kades dimana?” tanya Roni geram, ia menarik kerah baju salah seorang dari
    komplotan penculik bernama Muso.
    “Dia di tinggalkan di Gunung batu, dia masih hidup.” Jawab Muso yang di akui sebagai
    ketua penculikan. Abdul dan kawan-kawannya segera memutar arah, sementara ketujuh pelaku
    hampir menjadi bulan-bulanan para pemuda dan tukang ojek. Beruntung mereka segera di
    amankan di Mapolsek Cisolok. Abdul dan kawan-kawannya tidak menemukan pak kades di
    tempat yang disebutkan Muso. Mereka pulang dengan tangan hampa dan hati yang kecewa.
    Menjelang siang pak kades di temukan disebuah kawasan sepi, 500 kilo meter dari
    Gunung batu dalam keadaan sudah tidak bernyawa dengan puluhan tusukan dan luka lebam di
    sekujur tubuh. Suara ambulance meraung menyayat pilu, istri pak kades pingsan berkali-kali.
    ******
    “Pak Waru yang bilang begitu, katanya dia melihat dan mendengar sendiri pak Imong
    siang kemarin menelpon seseorang untuk menculik dan membunuh pak kades.” Jelas Randy
    “Pak Waru yang mana?” tanya Abdul
    “Itu lho, warga baru yang tinggal di Rt sebelah, walaupun dia baru tapi dia banyak
    membantu warga.”
    “Jangan dulu percaya berita dari satu pihak, harus tabayyun, nunggu informasi dari pihak
    berwajib saja.” Sergah Abdul dengan mimik wajah datar tanpa ekspresi.
    “Kata pak Waru mau sampai kapan nunggu berita dari kepolisian, Muso dan kawan-
    kawannya masih tidak bisa dimintai keterangan, lagipula kan sudah jelas otak dari penculikan
    yang menimpa pak kades itu pasti pak Imong.”
    Hari ke tiga dalang di balik tragisnya kematian kepala desa yang baru di lantik masih
    menjadi teka teki, polisi belum memberikan keterangan yang akurat. Sehingga banyak warga
    dari pihak pak kades menarik kesimpulan, pak Imonglah otak di balik tragedi penculikan dan
    pembunuhan pak kades, pak Imong yang dipercaya sebagai kepala pemuda telah mengkhianati
    kepercayaan warga, kemarahan warga mulai memuncak, iblis jahanam mulai mencari celah
    untuk mengadu domba, atas desakan pak Waru warga menyerbu kediaman pak Imong, batu-batu,
    pecahan kaca dan genteng rumah berserakan, putri sulung pak Imong yang sedang bermain di
  • teraspun tak luput dari lemparan batu, ia menangis dan pingsan dengan pelipis yang berlumuran
    darah.
    keesokan harinya sidang digelar di kantor desa dengan menghadirkan perangkat desa dan
    seluruh warga. Pak Imong bersumpah atas nama Tuhan, bahwa bukan dirinya yang menjadi
    dalang pembunuhan pak kades bahkan dirinya tidak tahu dan tidak percaya bahwa pak kades
    sudah tiada. Suasana semakin panas ketika warga pendukung kepala desa dan warga pendukung
    pak Imong terlibat adu mulut dan di akhiri saling lempar botol air mineral. Rupanya iblis mulai
    menemukan ruang kosong diantara dua kubu. Mereka yang tidak bisa menahan amarahnya
    hampir terlibat baku hantam, atas laporan Abdul pihak berwajib berhasil menenangkan warga
    dan membawa pak Imong serta beberapa warga ke kantor untuk dimintai keterangan.
    *******
    Sudah hari kelima polisi belum juga memberikan keterangan. Abdul, Randy dan beberapa
    pemuda lainnya selalu mendapat desakan dari warga agar segera mencari informasi mengenai
    kasus pembunuhan pak kades. Mereka segera berembuk lalu memutuskan untuk pergi menemui
    Muso dan kawan-kawannya di Polres Cisolok.
    “Semua berawal dari dendam yang bersemi di hati ayah kepada pak kades.” Kata Muso
    mengawali cerita.
    “Lalu?” Abdul merasa sangat penasaran, tanpa sepengetahuan Muso dan kawan-
    kawannya ia menghidupkan kamera rekam dari telpon genggamnya.
    “Ayah menelponku ke Jakarta memintaku untuk memberi pelajaran kepada pak kades.”
    Muso menghentikan ceritanya sejenak, ia menelan ludah yang menyumbat di tenggorokannya.
    Borgol di pergelangan tangannya terlihat sangat mengganggunya.
    “Ayah tidak terima motornya di ambil paksa, karena motor itu di beli dari hasil
    keringatnya, setelah satu bulan aku baru bisa memenuhi permintaan ayah, aku mengajak enam
    kawanku untuk menyiksa pak kades hingga tewas.”
    Mendengar penuturan Muso, Randy hampir saja melayangkan kepalan tangannya di
    hidung Muso yang bangir.
    “Dasar kau oknum biadab.”Maki Randi penuh emosi
    “Dia memang oknum komandan pasukan pengamanan yang biadab dan tidak punya hati,
    tapi biarkan hukum yang bicara.” Kata Abdul menenangkan sahabatnya.
    Abdul merasa sudah cukup mendapat informasi dari Muso untuk di sampaikan kepada
    warga, ia mengajak warga berkumpul di rumah pak kades dan menemui isteri pak kades yang
    masih terlihat murung dan sedih.
    “Motor itu milik pak kades yang di pinjamkan kepada Umam untuk mengojek, setelah
    beberapa hari mengojek, di perjalanan antara Sumur batu dan Sukamanah Umam di todong begal
    dan motornya dirampas, dua bulan kemudian polisi berhasil meringkus begal itu, dan begal itu
  • bilang motornya sudah berpindah tangan, lalu motor itu diambil paksa dan diserahkan kembali
    kepada kami, kami sangat senang, tetapi nyawa suamiku melayang.”
    Semua warga mengangguk paham dengan pikiran masing-masing, ada yang menahan
    marah dengan mengepalkan telapak tangannya dengan erat, ada yang memaki-maki ada juga
    yang mengeluarkan sumpah serapah. Hanya sebuah kotak kosong bernama motor bodong yang
    mereka perebutkan, banyak menelan korban, warga sangat geram dengan kejadian yang
    menimpa masyarakat di desa ini, hingga tak ada yang bisa mencegah warga yang ingin
    meluapkan amarahnya, mereka berbondong-bondong membawa pentungan kayu, linggis, parang,
    bambu runcing, golok dan berbagai senjata tajam lainnya, mereka bergerak penuh amarah ke
    rumah pak Waru, mereka merangsek masuk ke dalam rumah lalu melempar, menendang dan
    mengeluarkan seluruh isi rumah, namun pak Waru tak juga di temukan.
    “Dia sudah kabur.” Ujar salah seorang warga
    “Dia pasti belum jauh dari sini.” Sahut warga yang lainnya.
    “Kita cari ke hutan, dia pasti bersembunyi di hutan.”
    Mereka mengatur strategi, membagi warga menjadi beberapa kelompok, sebagian
    mencari ke hutan dan kebun, kelompok yang lainnya mencari kearah pantai. Namun hingga
    menjelang sore pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Selama satu minggu warga bergilir
    menjaga rumah pak Waru, agar jika sekali-kali pak Waru pulang, mereka bisa langsung
    meringkusnya dan melempar jasadnya kelaut.
    Pak Waru di kabarkan telah tewas ditelan gulungan ombak dan ditemukan membusuk di
    bibir pantai. Warga sepakat jasad pak Waru dimasukan ke dalam peti kotak kosong lalu dikirim
    pada keluarganya sebagai hadiah atas kesuksesannya memporakporandakan kerukunan warga.
    Setelah pak Waru dikembalikan ke tanah asalnya, warga masyarakat yang dimotori oleh
    perangkat desa, para pemuda dan para tokoh berdiskusi panjang untuk membangun kemajuan
    desanya dan merubah sebutan tanah jawara menjadi juara.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review

Judul:  Heart Block Penulis: Okke Sepatumerah Penerbit: GagasMedia Senja  Hadiningrat mengawali karirnya dari sebuah novel pertamanya berjudul Omnibus, ia berhasil meraih juara pertama dalam festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru   Berbakat. Ia mendapat kesempatan memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program menulis kreatif, tetapi novel yang ditulisnya tak sebagus novel pertamanya, hingga dewan juri membanding-bandingkannya dengan Omnibus.  Senja dibanjiri tawaran menulis. Tasya sang kakak tiri menobatkan diri sebagai manager Senja, ia menyarankan Senja menerima tawaran dari penerbit lain yang bekerja sama dengan sebuah merk fashion sepatu perempuan. Singkatnya, Senja harus menulis novel urban yang mengandung unsur promosi produk sepatu tersebut. Karya Senja itu pun meledak di pasaran. Banyak kaum muda khususnya perempuan yang menyukai novel tersebut. Seiring dengan melejitnya karir Senja sebagai penulis, kesibukannya pun bertambah. Ia wajib mengikuti kegi

Kotak Kosong

Kotak Kosong Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di bibir pantai selatan. Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden. Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam. “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” ujar Randy pada sahabatnya “Sudah ajalnya begitu.” “Tapi aku mencurigai satu nama disini.” “Siapa?” tanya Abdul “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong, kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik Randy persis di daun teli

Untuk Sebuah Cinta Suci

Allahumma shoyyiban nafi’aan Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra. “Sudah tidak terlalu dingin kan?” Zahra menggelengkan kepala. “Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!” “Masih males gerakin tangan.” “Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra. “Bisa sendiri kok.” “Siapa juga yang mau suapin kamu.” “Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit. “Ra,” “Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa. “Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.   “Ra apa kamu yakin dengan keputusan