Langsung ke konten utama

Wajah di Bingkai Kaca

  Wajah di Bingkai Kaca
Deadline tinggal menghitung hari. Tetapi tidak ada sepotong katapun yang menghiasi halaman wordku. Kosong, sekosong otakku tanpa ide. Kuraih ponsel kesayangan. Mengetikan beberapa kata pada kotak pesan, namun aku urung mengirimkannya setelah menyadari satu hal. Pandanganku beralih pada foto laki-laki muda yang menempel bersampingan dengan foto-fotoku. Tangan kiriku menggapainya, menyentuh lembut wajah tampan di balik bingkai kaca. Air mata yang tidak ku harapkan kehadirannya malah membanjiri pipi tirusku dan bermuara di dagu. Pedih dan perih sekali hatiku. Menangis hingga tertidur menjadi pilihanku saat ini.
***

Aku menghela nafas panjang lalu bergegas ke kamar mandi. Mencuci wajah dan membasuh anggota wudhu, kemudian melaksanakan sholat dhuhur. Ada ketenangan yang hinggap di dada.
Aku kembali menatap monitor notebookku, mencoba menuliskan beberapa kata pembuka untuk sebuah cerita pendek. Aku berhasil membuat satu paragraph. Namun setelah ku  baca ulang, aku merasa mual. Kalimat yang berhasil kutuliskan sangat jelek dan kaku. Aku tidak punya bakat menulis. Bisikku dalam hati. Tapi keinginanku untuk menulis begitu kuat.
​***

Dentangan jarum jam menunjukan pukul 19.00 WIB. Aku menghela nafas perlahan. Kuraih kalender yang bertengger manis di atas meja belajar. Aku menatap tak percaya pada lingkaran merah yang sengaja kubuat sejak satu bulan yang lalu. Aku merasa waktu seakan berlari kencang. Baru kemarin rasanya Dude mendaftarkanku untuk mengikuti kompetesi menulis cerita pendek. Aku sadar tenggat waktuku tinggal lima hari. Sejak dua hari lalu aku mengaduk-aduk pencarian di google. Berharap mendapat ide menulis dari penulis-penulis favoritku. Tapi hasilnya halaman wordku masih tetap putih mulus dan seksi.
“Aku tidak bisa menulis.” Ujarku pada seseorang lewat pesan singkat.
“Kenapa?” Tanya seseorang di sebrang sana.
“ Aku tidak mau ikut kompetesi menulis ini.” Jawabku sambil meremas kertas nomor registrasi menjadi pintalan dan lolos  dengan mulus di tempat sampah.
“Kamu harus tetap ikut!”
“Tidak.”
“Ikut!”
“Tidak.”
“Ikut!”
“Aku tidak bisa menulis. Tidak ada ide yang muncul di kepalaku.” Sergahku melalui pesan singkat. Hening. Tidak ada lagi balasan. Tiga puluh menit setelah perdebatan kecil itu, terdengar sebuah suara khas pintu kamarku terbuka. Lalu muncul sebuah kepala nyaris botak tanpa badan.
“Permisi…..” Ujar si kepala botak. Aku hanya menoleh ke arah pintu. Si kepala botakpun masih asyik menyembulkan kepalanya di balik pintu.
“Mau masuk atau tidak?” tanyaku pada pemilik kepala botak. Pintu berderit lebih kencang pertanda ada makhluk yang melebarkan daun pintu.
“Kita hangout.” Si kepala botak menarik paksa tangan kananku.
“Dude apaan sih main tarik-tarik aja?” Aku menepis tangan makhluk setengah botak yang merupakan kekasihku.
“Pakai bergo ini!” Dude menyambar kerudung bergo dari lemari gantung.
“Dudeeeeeeeeeee.” Aku berteriak protes.
“Ayo nanti keburu malam.” Dude menarikku keluar kamar.
“Aku izin ke orang tuaku dulu.”
“Aku sudah dapet Sim K dari ortu kamu.”
“Sim K?” Aku mengerutkan kening.
“Surat izin menarik kamu.” Dude tertawa lepas. Memamerkan gigi gingsulnya.
“Manis juga kamu.” Ujarku dalam hati.
Dude memarkirkan motornya di depan kafe perpustakaan. Aku sempat protes. Aku tidak suka jalan sama cowok pergi ke kafe, sebab kesannya seperti dating ala sinetron.
“Kita mau apa kesini?” protesku
“Kencan.” Ujar Dude asal. Aku cemberut.
“Sejak kapan kamu tahu kencan?”
“Sejak aku tahu kamu tidak bisa menulis, emang kamu tidak pernah masuk Sekolah Dasar, sampe sekarang tidak bisa nulis?”
“Perhatikan ya semuanya! Gadis yang ada dihadapan saya ini tidak pernah masuk Sekolah Dasar. Dia cuma pernah makan bangku sekolah, habis satu sehingga dia keras kepala dan selalu bilang tidak bisa menulis.” Dude menggantungkan ucapannya dengan tawa penuh kemenangan. “Tapi sebenarnya dia jago menulis." Dude kembali menghentikan kalimatnya. "Besok lusa dia ikut kompetensi menulis. Mohon do’anya ya. Terima kasih.” Dude mengencangkan volume suaranya. Semua pengunjung mempusatkan perhatiannya ke arah aku dan Dude.
“Dude….. “ Aku menginjak sepatu Dude sekuat tenaga. Dalam beberapa detik pengunjung bertepuk tangan dan beberapa dari mereka memberikan komentar.

“Good luck ya mbak.” Ujar seorang cewek berkacamata.
“Kami sekalian ngasih do’a restu deh bang.” Yang lain menimpali. Kafe menjadi riuh. Beruntung pemilik kafe tidak marah.
***
Kompetisi menulis cerita remaja telah usai. Walau tidak bisa mendapatkan juara pertama, setidaknya aku yakin apa yang Dude katakan itu benar. Aku bukan tidak bisa menulis tetapi hanya perlu banyak belajar dan latihan mengasah kemampuan.
“Selamat ya…..” Dude menarik tanganku menuju kafe. “kamu harus traktir aku.”
“Suka banget ya maksa orang.” Ujarku pura-pura bete. “Maksa minta ditraktir lagi.”
“Daripada aku maksa kamu ngambilin ketombe di kepalaku. Hayo pilih mana?” Tanya Dude dengan mimik wajah yang menggemaskan.
“Ga ada pilihan yang asyik.”
Dude mengacak jilbabku
***
10 januari 2016
“Treeet…. Treeeet…. Treeeet…..” aku merasa asing dengan nada ponselku. Ku geser touchscreen ke kanan. Pengingat satu tahun meninggalnya Dude.
“Dude….” Gumanku lirih. Kecelakaan tunggal yang dialami Dude membuatnya lumpuh kaki sementara. Setiap sore aku menemaninya bercerita sambil menyusuri karidor Rumah Sakit.
“Kamu mencintaiku?” Dude menatapku penuh tanya. Bibirnya yang memar bergerak perlahan.
“Aku mencintaimu, bahkan aku sangat takut kehilanganmu.” Aku menundukan wajah agar Dude tidak melihat air mata yang hendak tumpah dari pelupuk mataku. Dude menganggat daguku. Butiran bening yang ku bendung sekuat tenaga tidak sanggup lagi bertahan lebih lama. Ia mengalir bersama derasnya air hujan. Kedua tanganku menutup mulut agar air mataku tidak semakin deras.
“Ada apa Alin?” Dude menghapus air mata yang terus mengalir di pipiku. Di genggamnya jemariku. Lembut dan hangat.
“Aku takut kehilanganmu.” Jawabku.
“Alin…” Bibir Dude bergetar. “Jika nanti aku pergi, jangan pernah berhenti menulis, gapai mimpimu untuk menjadi seorang penulis hebat. Kelak tulisanmu akan dibaca dan dikenang banyak orang.”
***

“Dude….. Hari ini deadline lomba menulis cerpen remaja. Aku yakin kamu sudah bahagia di sana. Hari ini aku menulis tentangmu, tentang dirimu yang selalu memaksaku untuk tidak mudah menyerah." Kupeluk erat wajah tampan di balik bingkai kaca. "Aku akan terus menulis meski wujudmu tak lagi   menemaniku."

Komentar

  1. Duh sedihnya:) eh btw menuliskan kata ku raih itu bukan kuraih ya? Ku baca =kubaca. Ngga dispasi, gitu bukan sih? Cmiiw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya.... Betul harusnya kata ku di awal ataupun di akhir harus disambung 👍🏻👍🏻 thank you koreksinya 😍😍

      Hapus
  2. “Sejak aku tahu kamu tidak bisa menulis, emang kamu tidak pernah masuk Sekolah Dasar, sampe sekarang tidak bisa nulis?”
    Kena juga :(
    Btw ini kisah nyata kah? :')

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review

Judul:  Heart Block Penulis: Okke Sepatumerah Penerbit: GagasMedia Senja  Hadiningrat mengawali karirnya dari sebuah novel pertamanya berjudul Omnibus, ia berhasil meraih juara pertama dalam festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru   Berbakat. Ia mendapat kesempatan memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program menulis kreatif, tetapi novel yang ditulisnya tak sebagus novel pertamanya, hingga dewan juri membanding-bandingkannya dengan Omnibus.  Senja dibanjiri tawaran menulis. Tasya sang kakak tiri menobatkan diri sebagai manager Senja, ia menyarankan Senja menerima tawaran dari penerbit lain yang bekerja sama dengan sebuah merk fashion sepatu perempuan. Singkatnya, Senja harus menulis novel urban yang mengandung unsur promosi produk sepatu tersebut. Karya Senja itu pun meledak di pasaran. Banyak kaum muda khususnya perempuan yang menyukai novel tersebut. Seiring dengan melejitnya karir Senja sebagai penulis, kesibukannya pun bertambah. Ia wajib mengikuti kegi

Kotak Kosong

Kotak Kosong Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di bibir pantai selatan. Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden. Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam. “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” ujar Randy pada sahabatnya “Sudah ajalnya begitu.” “Tapi aku mencurigai satu nama disini.” “Siapa?” tanya Abdul “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong, kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik Randy persis di daun teli

Untuk Sebuah Cinta Suci

Allahumma shoyyiban nafi’aan Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra. “Sudah tidak terlalu dingin kan?” Zahra menggelengkan kepala. “Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!” “Masih males gerakin tangan.” “Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra. “Bisa sendiri kok.” “Siapa juga yang mau suapin kamu.” “Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit. “Ra,” “Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa. “Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.   “Ra apa kamu yakin dengan keputusan