Langsung ke konten utama

Takut Kaya

Takut kaya
Bagus H (pesantren entrepreneur)
Suatu hari saya bertemu kawan di rumahnya. Sambil bersilaturahim saya ingin mengajaknya berbisnis.
“pak ayo pak ikut berbisnis dengan saya.”
“saya tidak mau pak.” Jawabnya mantap.


Kemudian saya bertanya. “kenapa pak?”
“saya takut kaya.” Jawabnya.
Saat itu saya sangat kaget, ternyata ada orang yang takut kaya. Dia sangat faham kalau menjalankan bisnis itu resikonya adalah kaya.

“ saya takut hubbuddunya, saya takut cinta kepada dunia.”
Luar biasa kawan saya ini. Dia orang yang sholeh. Dalam hati saya, saya berdo’a “Ya Allah orang sholeh inilah yang harus kaya.” Karena kalau kekayaan di pegang oleh orang-orang sholeh, insyaa Allah Rahmatan lil’alamin. Tapi sayangnya orang sholehnya tidak mau kaya, orang kayanya tidak mau sholeh. 
Kemudian saya bertanya, apakah hubbuddunya penyakitnya orang kaya saja? Tidak!!! Orang miskinpun banyak yang menderita hubbuddunya. Masalahnya bukan di kaya atau miskinnya. Tapi bagaimana bersikap terhadap kekayaan. Dengan alasan inilah banyak umat islam yang tidak mau bekerja keras. Tidak mau berusaha menjadi orang kaya. Dan tidak mau menjadi orang besar. Umat islam terlalu besar untuk punya cita-cita kecil. Umat islam harus kaya. Seperti kayanya Abu Bakar Assidiq, seperti kayanya Umar bin Khottob dan seperti kayanya Utsman bin Affan. Karena kekayaan merekalah islam bisa Berjaya.
Rosulullah menganjurkan kita untuk berdo’a “Ya Allah aku berlindung dari kekufuran dan kefakiran, dan aku berlindung kepadaMu dari azab kubur.”
Yang menjadi masalah bukan seberapa banyak kita mendapatkan uang, tapi uang itu dari mana dan untuk apa?
Kata Rosulullah kita tidak boleh iri kecuali pada tiga orang:
Pertama, orang yang berilmu yang mengamalkan dan mengajarkannya.
Kedua, orang yang mati syahid.
Ketiga, orang kaya yang dermawan.
Ingatlah!!!!!!!!!!!!­ 
Kita adalah harapan masa depan umat, bangkit mulai sekarang!
Harapan itu pasti ada…. Allah bersama kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review

Judul:  Heart Block Penulis: Okke Sepatumerah Penerbit: GagasMedia Senja  Hadiningrat mengawali karirnya dari sebuah novel pertamanya berjudul Omnibus, ia berhasil meraih juara pertama dalam festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru   Berbakat. Ia mendapat kesempatan memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program menulis kreatif, tetapi novel yang ditulisnya tak sebagus novel pertamanya, hingga dewan juri membanding-bandingkannya dengan Omnibus.  Senja dibanjiri tawaran menulis. Tasya sang kakak tiri menobatkan diri sebagai manager Senja, ia menyarankan Senja menerima tawaran dari penerbit lain yang bekerja sama dengan sebuah merk fashion sepatu perempuan. Singkatnya, Senja harus menulis novel urban yang mengandung unsur promosi produk sepatu tersebut. Karya Senja itu pun meledak di pasaran. Banyak kaum muda khususnya perempuan yang menyukai novel tersebut. Seiring dengan melejitnya karir Senja sebagai penulis, kesibukannya pun bertambah. Ia wajib mengikuti kegi

Kotak Kosong

Kotak Kosong Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di bibir pantai selatan. Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden. Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam. “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” ujar Randy pada sahabatnya “Sudah ajalnya begitu.” “Tapi aku mencurigai satu nama disini.” “Siapa?” tanya Abdul “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong, kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik Randy persis di daun teli

Untuk Sebuah Cinta Suci

Allahumma shoyyiban nafi’aan Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra. “Sudah tidak terlalu dingin kan?” Zahra menggelengkan kepala. “Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!” “Masih males gerakin tangan.” “Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra. “Bisa sendiri kok.” “Siapa juga yang mau suapin kamu.” “Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit. “Ra,” “Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa. “Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.   “Ra apa kamu yakin dengan keputusan