Langsung ke konten utama

Pelangi Di balik Kerudung Merah Jambu eps 3

Sudah dapat berapa gaya fotonya?” tanya Arian saat Atory menyampaikan laporan. Atory membuka amplop berwarna cokelat dan mengeluarkan beberapa lembar foto ukuran 5 R.
“Keren deh kerjaan lu.”
Sejenak Arian memandangi foto seorang cewek berseragam putih abu-abu yang sedang memegang selembar teks puisi.




******
Satu tahun kemudian
Aku tunggu di ruang osis jam istirahat pertama.
Zahra tersenyum sendiri membaca surat yang ia dapatkan di bawah buku fisikanya. Ia tersenyum bukan karena isi suratnya yang puitis maupun romantis, namun karena pengirimnya adalah Arian.
“Kak Arian mengajak aku ke suatu tempat lho.” Seru Zahra dengan mata berbinar.
“Wah seru tuh, kemana?” tanya Fatimah.
“Aku juga belum tau, besok kita sekolah sudah mulai bebas ya.”
“Iya kayaknya.”
Bel tanda istirahat telah berdering, Zahra segera mengemas buku dan pulpennya sebelum guru fisika menutup pelajarannya.
“Zahra Silahkan di isi soal nomor 4 di papan tulis lalu jelaskan pada teman-temanmu!” Seru guru fisika sambil menyerahkan marker whiteboard ke tangan Zahra. Zahra sedikit gelagapan, masalahnya dia sudah menutup dan membereskan bukunya. Degup jantungnya terasa lebih kencang dari biasanya, keringat dingin sudah mulai membasahi pelipisnya. Namun dengan kepercayaan dirinya yang masih tersisa, di bantu do’a andalannya ia maju ke depan, menuliskan rumus tekanan.
“Tekanan adalah satuan fisika untuk menyatakan gaya per satuan luas. Tekanan juga merupakan gaya yang bekerja pada permukaan benda tiap satuan luas.”
“Misalnya begini, kalian tau ini apa?” tanya Zahra pada teman-temannya.
“Pensil.” Seru teman-temannya kompak.
“Kalo ini?” Zahra mencabut benda di ujung kerudungnya.
“Jarum pentul.”
“Nah, tahu kan kalo ini jari tangan saya, kalo jarum pentul ini saya tusukan ke kulit jari tangan saya, hasilnya bagaimana?”
“Akan menjadi luka yang dalam.”
“Kalo pensil ini saya tusukan ke kulit jari saya, hasilnya bagaimana?”
“Akan menghasilkan luka yang tidak dalam.”
“Kenapa bisa demikian?”
“Karena luas jarum pentul dan luas pensil itu berbeda.” Jawab mereka penuh semangat
“Jadi kesimpulannya, luas permukaan mempengaruhi besarnya tekanan.”
Zahra diam sejenak, melirik kearah guru favoritnya.
“Betul kan bu?”
Bu Heni guru fisika cantik itu terdiam, bibirnya yang tipis dan seksi hanya menyunggingkan senyuman, dia tidak menyangka Zahra yang dia tahu usianya lebih muda dari teman-teman sekelasnya bisa menyambungkan pelajaran dasar fisika dengan sebuah realita kehidupan.
“Kamu cerdas Zahra.” Puji bu Heni setelah Zahra di persilahkan duduk.
“Mungkin sama halnya seperti hidup kita, jika hidup kita merasa tertekan, barangkali karena kita kebanyakan gaya.” Lanjut Zahra sebelum dirinya kembali ke bangkunya.
Bu Heni tersenyum kembali. Ada-ada ini anak. Bisik hati bu Heni, diam-diam ia merasa bangga pada anak didiknya yang selalu memperhatikan ketika dia menjelaskan materi pelajaran, selalu bertanya ketika mereka belum memahami pelajaran, sehingga mereka faham dengan apa yang di sampaikan guru.
Seketika kelas menjadi sedikit riuh oleh suara tepuk tangan teman-teman sekelas Zahra.
“Zahra kamu bisa aja.” Kata Fatimah.
“Nomor 5 siapa yang mau maju?” tanya bu Heni meredamkan riuh tepuk tangan kelas XI IPA, semua siswa mendadak diam sambil saling berbisik sesama teman sebangku. Hingga bu Heni menyerah dan menunjuk salah satu siswa.
Zahra segera keluar dari kelasnya, mengayunkan langkahnya ke ruang osis. Ia takut Arian menunggu terlalu lama, di ruang osis Zahra mendapatkan Arian duduk bersandar di sudut ruangan, ia tidak sendiri ada seorang perempuan di sebelahnya yang sedang menggenggam tangan Arian. Zahra jadi serba salah, selama beberapa saat ia terjebak dalam situasi yang tidak di harapkan, ia bermaksud membalikan badan untuk kembali ke kelas, tapi mata Arian terlanjur melihatnya dengan sangat terkejut. Untuk beberapa detik pandangan mereka saling beradu.
Zahra segera menundukkan wajah dan berlari menuju kelasnya, Arian mengejarnya.
“Zahra.” Panggil Arian.
Zahra pura-pura tidak mendengar, ia terus berjalan sampai ke depan kelasnya, langkahnya terhenti karena ada seseorang yang berdiri di depan pintu kelasnya.
“Hai Zahra, apa kabar?” tanya seorang cowok berkaca mata minus yang berdiri di depan kelas Zahra.
“Baik kak, Alhamdulillah.”
“Aku ada cokelat untuk kamu, semoga suka.”
Zahra tersenyum menerima pemberian cokelat dari kakak kelasnya. Sementara Arian hanya berdiri mematung dengan jarak lima meter di depan kelas Zahra. Ia masih syok, baru saja Dea menyatakan perasaan padanya.
“Thanks ya kak, oh ya ada yang bisa aku bantu kak?”
“Tidak ada kok Ra, cuma ngasih itu aja, klo Zahra mau masuk kelas, silahkan! kakak juga pamit mau masuk kelas.”
“Kalo gitu makasih banyak ya kak, Zahra masuk kelas dulu.”
Zahra mengurungkan niatnya untuk masuk kelas, ia memutar tubuhnya menghadap Arian, ia malemparkan senyuman pada Arian, Arian mendekat.
“Zahra, kamu jangan salah faham ya, ini ga seperti yang kamu lihat.”
“Aku ga ngerti deh kak.”
“Ke perpus aja yuk.”
Di perpustakaan Zahra lebih banyak diam, sambil pura-pura fokus membaca buku, di dalam hatinya Zahra ingin sekali Arian menyapanya lebih dulu, berkali-kali ia melirik Arian yang sedang pura-pura asyik memilih buku. Ia kemudian mendapatkan ide, ia jatuhkan buku yang sedang di bacanya. Arian segera mengambilnya dan duduk di hadapan Zahra.
“Terima kasih.” Kata Zahra dingin
“Oh ya besok rencananya aku dan teman-teman mau ke curug, disana pemandangannya indah, mau ikut kan?” Kata Arian, Zahra berfikir sejenak.
“Siapa saja yang ikut kesana?” tanya Zahra penasaran, dalam hatinya Zahra tidak mau ikut jika ada Dea.
“Alfi, Budhi, Atory, Elis dan Rini.”
Zahra menghela nafas lega sebab tidak ada nama Dea yang di sebut Arian
“Iya aku ikut.”
“Besok kita kumpul jam 9 disini, bawa minuman dan makanan seperlunya, sekalian ada yang mau aku omongin disana.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review

Judul:  Heart Block Penulis: Okke Sepatumerah Penerbit: GagasMedia Senja  Hadiningrat mengawali karirnya dari sebuah novel pertamanya berjudul Omnibus, ia berhasil meraih juara pertama dalam festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru   Berbakat. Ia mendapat kesempatan memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program menulis kreatif, tetapi novel yang ditulisnya tak sebagus novel pertamanya, hingga dewan juri membanding-bandingkannya dengan Omnibus.  Senja dibanjiri tawaran menulis. Tasya sang kakak tiri menobatkan diri sebagai manager Senja, ia menyarankan Senja menerima tawaran dari penerbit lain yang bekerja sama dengan sebuah merk fashion sepatu perempuan. Singkatnya, Senja harus menulis novel urban yang mengandung unsur promosi produk sepatu tersebut. Karya Senja itu pun meledak di pasaran. Banyak kaum muda khususnya perempuan yang menyukai novel tersebut. Seiring dengan melejitnya karir Senja sebagai penulis, kesibukannya pun bertambah. Ia wajib mengikuti kegi

Kotak Kosong

Kotak Kosong Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di bibir pantai selatan. Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden. Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam. “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” ujar Randy pada sahabatnya “Sudah ajalnya begitu.” “Tapi aku mencurigai satu nama disini.” “Siapa?” tanya Abdul “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong, kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik Randy persis di daun teli

Untuk Sebuah Cinta Suci

Allahumma shoyyiban nafi’aan Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra. “Sudah tidak terlalu dingin kan?” Zahra menggelengkan kepala. “Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!” “Masih males gerakin tangan.” “Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra. “Bisa sendiri kok.” “Siapa juga yang mau suapin kamu.” “Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit. “Ra,” “Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa. “Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.   “Ra apa kamu yakin dengan keputusan