Langsung ke konten utama

bagian dari perjuangan

Minggu pagi yang sejuk, aku bangun tepat ketika ayam-ayam jago mulai berkokok, ketika muadzin mengumandangkan suara merdunya membangunkan insan-insan yang terlelap dalam buaian mimpi, aku bangun seraya merapal sebuah do'a keramat yang sudah kuhapal sejak usiaku 4 tahun, ku raih segelas air mineral yang selalu ku sediakan di atas meja belajar, meneguknya sedikit dan menuangkannya pada telapak tangan, menghirupnya perlahan, sakit dan perih terasa di dalam hidungku.
     Jam 6 : 00 aku kembali memeriksa perlengkapan yang akan kubawa menuju Rangkasbitung, notebook, pulpen, pensil, correction pen, roti, air mineral, p3k, mukena dan tak lupa roti jepang merk avail sebagai perlengkapan P3K (pertolongan pertama pada kebocoran) sudah tertata rapi dalam tas baruku.
    Dua jam kemudian aku telah sampai di terminal kota Rangkasbitung.
    "Bade kamana neng?" Tanya beberapa tukang ojek.
   "Ke Komdik," jawabku singkat

Saat itu aku baru sadar, tukang ojek-ojek itu mengerubutiku. Oh my God, desisku lirih, kesehatanku yang belum pulih membuat kepala sedikit pusing dan tenggorokanku sakit. Aku memutuskan duduk sejenak di samping ibu-ibu yang terlihat kebingungan, pertanyaan yang sama pun terlontar dari mulutnya.
"Bade kamana neng?"
"Bade ka Komdik bu, ibu bade ka mana?"
"Bade ka toko Onih, tapi hilap deui tempatna."
"Ya udah bu, kin ku abdi dijajapkeun, hayu atuh naek angkot ka pasar."
Angkot yang kami tumpangi meluncur menuju pasar Rangkasbitung, setelah mengantar si ibu ke toko tujuan, aku mengenakan helm hello kittyku lalu menanyakan ojek pada pedagang petasan, oh aku ingat pedagang petasannya lumayan manis dan baik hati, dia memanggil tukang ojek untukku.
"Makasih ya kang?"
"Sami-sami teh."
Aku melirik jam digital yang melilit di pergelangan tangan kiriku, sudah pukul 9:45, astaghfirullah aku pasti telat, gumanku dalam hati.
  Aku turun tepat di depan gerbang kampus STKIP Setia Budi, dan segera membayar ongkos ojek. Aku belum tahu tempat belajarku dimana, segera ku putar layar iphone jadulku, menelpon bang Dc, tetapi hanya nada panggilan tunggu yang ku terima. Aku berjalan beberapa meter menuju sebuah warung, dengan suara khas kodok karena masih sakit aku bertanya di mana tbm kedai proses.
"Lurus aja neng, lewat kolam itu ada tbmnya."
"Makasih."
Ya ampun, bodoh sekali aku, ujung kolam itu kan jauh, kenapa tadi ga sekalian pake ojek? aku merutuki diri sendiri, kakiku mulai lemas, tetapi ada sisi semangat yang tiba-tiba membara, ini perjuangan, aku menghela nafas panjang, menenteng tiga buah leumeung yang dibungkus menjadi satu dalam koran dan sebuah helm hello kitty kesayanganku, nampak sekali asli dari kampung ya. Hap akhirnya sampai juga di tbm kedai proses. Aku disambut bang Firman dengan wajah berseri.
   Aku hanya tersenyum ketika beberapa calon teman-teman baru menyapaku. Maklum belum kenal 😂😂😂

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review

Judul:  Heart Block Penulis: Okke Sepatumerah Penerbit: GagasMedia Senja  Hadiningrat mengawali karirnya dari sebuah novel pertamanya berjudul Omnibus, ia berhasil meraih juara pertama dalam festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru   Berbakat. Ia mendapat kesempatan memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program menulis kreatif, tetapi novel yang ditulisnya tak sebagus novel pertamanya, hingga dewan juri membanding-bandingkannya dengan Omnibus.  Senja dibanjiri tawaran menulis. Tasya sang kakak tiri menobatkan diri sebagai manager Senja, ia menyarankan Senja menerima tawaran dari penerbit lain yang bekerja sama dengan sebuah merk fashion sepatu perempuan. Singkatnya, Senja harus menulis novel urban yang mengandung unsur promosi produk sepatu tersebut. Karya Senja itu pun meledak di pasaran. Banyak kaum muda khususnya perempuan yang menyukai novel tersebut. Seiring dengan melejitnya karir Senja sebagai penulis, kesibukannya pun bertambah. Ia wajib mengikuti kegi

Kotak Kosong

Kotak Kosong Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di bibir pantai selatan. Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden. Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam. “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” ujar Randy pada sahabatnya “Sudah ajalnya begitu.” “Tapi aku mencurigai satu nama disini.” “Siapa?” tanya Abdul “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong, kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik Randy persis di daun teli

Untuk Sebuah Cinta Suci

Allahumma shoyyiban nafi’aan Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra. “Sudah tidak terlalu dingin kan?” Zahra menggelengkan kepala. “Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!” “Masih males gerakin tangan.” “Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra. “Bisa sendiri kok.” “Siapa juga yang mau suapin kamu.” “Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit. “Ra,” “Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa. “Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.   “Ra apa kamu yakin dengan keputusan