Langsung ke konten utama

Prolog novel

Prologue 







Ya Allah help me, semoga tidak kesiangan
Zahra mengayunkan kakinya setengah berlari, pasalnya angka digital yang melilit dipergelangan tangan kanannya sudah menunjukan pukul 7:16 artinya ia sudah terlambat satu menit masuk kelas. Ia melihat petugas piket yang menjaga buku sanksi telah duduk manis menanti dirinya. 
Seperti biasa di setiap sekolah memiliki peraturan dan sanksi yang berbeda, di sekolah tempat Zahra menuntut ilmu berlaku peraturan membayar uang sanksi bagi siswa siswi yang terlambat datang sekolah, di tambah akan mendapat wejangan spesial dari kepala sekolah.
“Bayar dengan uang pas, tulis nama dan kelas.” Petugas menyodorkan buku sanksi untuk di tanda tangani Zahra.
“Aku ga ada uang pas.” Zahra menyodorkan uang satu lembar lima ribu rupiah.
“Belum ada kembaliannya.”
“Nanti aja deh.” Zahra segera berlalu setelah menulis nama, kelas dan menandatangi buku sanksi.
“Tapi….”
Zahra tidak menghiraukan teriakan petugas yang menjaga buku sanksi.
“Zahra tunggu!” Seseorang memanggil namanya. Zahra menoleh sekilas, langkah kakinya semakin di percepat. Zahra sebenarnya tahu yang memanggil dirinya adalah Arian . Cowok kelas sebelas IPS yang selalu jadi idola cewek-cewek di sekolah, termasuk Zahra tentunya. Tapi kali ini di hati Zahra tidak ada hasrat untuk deket maupun ngobrol dengan Arian, yang dia pikirkan adalah segera masuk kelas sebelum kepala sekolah melihat dirinya kesiangan dan mendapat wejangan di halaman sekolah.
“Zahra.” Arian berhasil menyusul langkah Zahra.
“Ya kak ada apa? Kok tau nama aku?”
“Aku Arian.” Arian mengulurkan tangan kanannya. Zahra tersenyum sebelum menyambut uluran tangan Arian.
“Ehmm.”
“Mati deh aku.” Ujar Zahra hampir tak terdegar. Zahra dan Arian saling menatap. Kepala sekolah sudah berdiri di hadapan mereka. Beliau kepala sekolah yang disiplin dan berwibawa, baru mendengar batuknya saja sudah bikin Zahra ciyut.
“Zahra.” Arian memberi kode pada Zahra agar segera turun ke halaman sekolah sebelum kepala sekolah menyuruh mereka turun. Mereka berdiri satu langkah di depan tiang bendera.
“Masih ada yang terlambat lagi?” Tanya kepala sekolah. Arian dan Zahra menggelengkan kepala. 
“Kalian kenapa terlambat?” Tanya kepala sekolah lagi.
“Ban motor saya bocor pak.” Arian memberikan alasan.
“Kamu?” kepala sekolah menunjuk Zahra.
“Angkotnya lambat pak.”
Kali ini tidak ada wejangan khusus seperti biasanya dari kepala sekolah, karena kepala sekolahnya ada kepentingan lain. Beliau mengeluarkan dua buah permen untuk Zahra dan Arian dengan pesan berjemur dulu sebelum masuk selama 15 menit. Supaya sehat, begitu alasan kepala sekolah.
“Sejak kapan kamu naik angkot?” bisik Arian.
“Aku tadi bohong.”
“Kok bohong?”
“Aku kan ga tau harus alesan apa?”
“Alesan yang sebenernya aja.”
“Aku ga enak badan.”
“Kamu sakit? Pantesan wajah kamu pucat.” Reflek tangan Arian menyentuh dahi Zahra.
“Aku antar ke UKS ya.” Ajak Arian.
Sok dekat banget sih. kata Zahra dalam hati.
“Aku enggak apa-apa, siang juga sehat kok.”
“Oh iya aku belum bilang terima kasih sama kamu.”
“Terima kasih buat apa?”
“Terima kasih karena nilai aku paling tinggi di kelas.”
“Kok terima kasih ke aku?”
“Karena kamu kemarin yang mengisi soal bahasa Inggris di buku aku.”

Zahra baru ingat, kemarin siang dia menerima setumpuk buku latihan bahasa Inggris di ruang osis tapi dia tidak tahu buku latihan siapa yang dia kerjakan lebih dulu. Baru selesai lima soal, guru bahasa Inggrisnya sudah muncul. Zahra jadi merasa geli sendiri, mengapa sebagian orang malas dengan pelajaran bahasa Inggris, padahal belajar bahasa Inggris itu asyik dan menyenangkan. Kalau ingin tahu jawabannya mengapa mereka malas belajar bahas Inggris, tanyakan saja pada rumput yang tertiup angin.
“Oh iya kak sama-sama, tapi seharusnya kamu sedih kak.”
“Iyah sih harusnya aku sedih, tapi tak apalah untuk kali ini daripada tidak dapat nilai, setelah ini aku belajar sama kamu.”
“Masuk yuk udah lima belas menit kan?” 
Zahra melirik jam di pergelangan tangannya. Harusnya saat ini Zahra merasa senang karena bisa lebih dekat dengan Arian. Tapi Zahra sedang tidak mood walau hanya untuk mengenang kebersamaannya dengan Arian seperti tadi.
Di dalam kelas Zahra duduk dengan gelisah, berulang-ulang ia mengubah posisi duduknya. 
“What happen with you dear? Any problem?” Tanya Fatimah berbisik di daun telinga Zahra. 
Zahra menggelengkan kepala. Zahra dan Fatimah bersahabat sejak 6 bulan lalu, sejak mereka melakukan masa orientasi sekolah, sejak mereka sama-sama dihukum oleh kakak senior, disuruh jalan bebek sejauh sepuluh meter, disuruh nyanyi lagu pelangi yang diganti huruf vokalnya dengan huruf O dan di suruh memilih dan merayu kakak senior paling ganteng menurut mereka. Sejak saat itu mereka sering di juluki saudara kembar. Kembar tapi beda tentunya. Zahra yang cuek, terbuka, penuh semangat dan peduli sosialnya yang tinggi membuat dirinya mudah bergaul dengan semua kalangan dan terkenal seantero yayasan tempat Zahra sekolah, mulai dari anak Tk hingga mahasiswa Universitas. Sedangkan Fatimah yang lembut, polos, pendiam dan cenderung tertutup sehingga jerawat betah menghiasi wajah cantiknya. Walaupun tubuh Zahra lebih kecil dari Fatimah tapi Zahralah orang pertama yang menentang siapa saja yang berani menyinggung masalah jerawat Fatimah.
“Zahra kamu jujur sama aku ada apa?”
“Aku tidak apa-apa.”
“Yakin kamu tidak apa-apa?”
Zahra kembali menggelengkan kepalanya. Tapi Fatimah tidak putus asa.
“Ini bukan Zahra yang aku kenal.”
“Serius aku tidak apa-apa.”
“Tadi aku melihat kamu sama kak Arian, apa dia menyakiti kamu?” Fatimah terus mengorek apa yang menjadi penyebab sahabatnya menjadi seperti orang asing baginya.
“Tidak, dia tidak menyakiti aku kok.”
“Lalu apa yang membuat kamu seperti ini?”
“Aku tidak apa-apa beneran deh.”
“ Aku gak yakin kamu ga ada masalah. Ayolah cerita sama aku, kita kan sahabat, jangan ada rahasia di antara kita.” 
“Tapi kamu janji ya jangan bilang siapa-siapa.”
“Iya aku janji.” Fatimah mengulurkan kelingkingnya. Kelingking mereka saling bertaut, ingatan Zahra jadi mengembara ke masa kanak-kanaknya, dimana ia selalu menautkan kelingking ketika habis bertengkar dengan teman sebayanya, menautkan kelingking itu tanda perdamaian. Zahra mengatur nafas.
“Aku lagi dapet.” Ujar Zahra sambil merapatkan mulutnya pada telinga Fatimah.
“Serius kamu? Selamat ya.”
Zahra mengangguk bingung.
“Pantesan kamu jadi aneh begitu. Berarti sekarang kamu udah baligh.”
“Tapi aku ga enak perasaan gini ya? Ga enak badan juga.”
“Namanya juga baru pertama kali, aku juga dulu begitu, aku pertama dapet waktu masih kelas 2 SMP begitu, jadi di bawa nyantai aja.”
“Iya deh di bawa enjoy.”
“Oh iya hampir lupa, ada titipan dari kak Khaer, tadi pagi dia kesini dua kali nanyain kamu, terus dia juga bilang makasih sama kamu.”
“Sama-sama, buka yuk.” 
“Baca bismillah dulu.”
“Bissmillahirrohmani­rrohiim.”
Zahra dan Fatimah membuka bingkisan yang dikemas asal-asalan.
“Wow cokelat.” Seru Fatimah.
“Iya kak Khaer emang selalu ngasih aku cokelat atau wafer, sejak aku masih SMP disini. Dia juga suka sama teman sebangku aku, Tapi temenku itu tidak melanjutkan sekolah disini, dia sekolah di luar kota.”
“Kamu itu banyak penggemarnya ya?”
“Penggemar apaan?”
“Aku ga tau penggemar apaan namanya, yang aku tau hampir setiap hari ada yang ngirim kamu cokelat, minuman maupun makanan yang lain, ada apa sih antara mereka dan kamu?” Fatimah mengerutkan keningnya.
Zahra mengangkat bahu sambil tersenyum.
“Mereka semua saudara aku, kakak-kakak aku.”
“Kakak ketemu gede maksudnya?”
“Ya begitulah.”
“Kak Arian ganteng ya?”
“Hmmmh.”
“Kak Arian ganteng ya?” Fatimah mengulang ucapannya.
“Iya kali, kamu naksir ya?” tuduh Zahra pada Fatimah
“Nanti deh aku salamin.” Lanjut Zahra 
“Dih siapa yang naksir, emang kenyataannya kak Arian itu ganteng.”
“Terserah deh mau ganteng atau apa, aku ga peduli, aku ke ruang osis dulu ya, mau ikut ga?”
“Eggak deh, tapi jangan lama-lama ya!”
Zahra beranjak dari kursinya, keluar kelas sambil mengacungkan ibu jarinya pada Fatimah.
Di ruang osis yang tidak terlalu luas Zahra sibuk mencari id cardnya yang hilang. Dia yakin Id cardnya tertinggal disini. Tapi dia kecewa setelah melihat lantai dan meja sudah rapi. 
“Siapa yang piket osis hari ini?” Zahra mendekati dinding yang banyak di tempeli berbagai jadwal kegiatan maupun dokumentasi acara.
“Kamu cari apa?” Arian muncul dengan tiba-tiba. Membuat jantung Zahra hampir copot
“Emmmm aku ga nyari apa-apa, Cuma lagi jenuh aja di kelas.”
“Yakin ga nyari apa-apa?”
“Yakin.”
“Tadi pagi kamu bohong sama kepala sekolah, sekarang kamu bohong kan sama aku?”
Zahra terdiam, hari ini dia memang terlalu banyak alasan untuk menutupi hal yang sebenarnya.
“Aku lagi ngecek yang piket osis hari ini, sepertinya id card aku tertinggal disini, mungkin mereka menyimpannya.”
“Nah gitu katakan yang sebenarnya, kan lebih enak. Aku manggil kamu tadi pagi karena aku mau ngasih id card kamu.” Arian menyerahkan id card milik Zahra.
“Terus kenapa tidak kakak berikan padaku tadi pagi?”
“Aku lupa, maaf ya.”
“Tidak apa-apa kak, terima kasih.”
“Oh ya pulang sekolah aku tunggu ya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Ngomong soal apa kak? Kenapa tidak sekarang aja.”
“Aku bisanya pulang sekolah, kamu keberatan ga?”
“Insyaa Allah tidak keberatan kok.”
Panas matahari terasa sekitar 149,6 juta kilometer di atas kepala, teriknya membuat kepala terasa mendidih dan membuat tenggorokan terasa kering, Zahra segera berteduh di bawah pohon palm, sambil menunggu Arian ia menyempatkan mambuka kembali buku pelajaran yang sudah di pelajarinya tadi pagi. Ia menatap pergelangan tangannya, di perhatikannya benda yang selalu setia menjadi sahabatnya dimanapun dan kapanpun, kecuali ketika dia bobo. Saat bobo cantik Zahra selalu menjauhkan benda-benda yang mengandung senyawa radio aktif. 
Arian duduk di sebelah kiri perempuan yang sedang asyik membaca buku. Zahra segera menyadari kehadiran Arian dan menutup buku pelajarannya.
“Ganggu ya?” Tanya Arian basa basi
“Enggak kok, emang ada apa?” Jawab Zahra balik bertanya.
“Aku mau minta tolong nih, boleh ga?”
“Boleh aja, kalo saya bisa bantu ya di bantuin, tapi kalo saya tidak bisa, ya di usahain, emang ada apa, kayaknya serius banget?” Ujar Zahra sambil tertawa.
“Aku ada tugas bahasa Inggris, mau ga ngajarin aku?”
“Aku kan adik kelas kak Arian, mana mungkin aku bisa ajarin kak Arian.”
“Kamu ga usah bohong deh sama aku.” Arian memukul lembut bahu Zahra, ia bermaksud bercanda, tapi Zahra salah memahami. Tanggapan Zahra, Arian menjugde diri Zahra sebagai pembohong. 
Zahra diam, wajahnya di tekuk sampai kusut, sepertinya dia merasa tersinggung dengan ucapan Arian. Tapi Arian tidak peka dengan suasana saat ini.
“Aku tahu untuk pelajaran bahasa Inggris kamu pasti bisa, walaupun itu pelajaran kelas sebelas.”
Zahra tetap diam, ketidakseimbangan hormonnya membuat perasaannya sangat sensitif.
“Zahra kok diam? Aku salah ngomong ya? Atau kamu masih sakit?”
Zahra menggelengkan kepala.
“Maafin aku ya.”
“Iya tidak apa-apa.” Zahra memasang senyumnya lagi. Dia sadar Arian adalah cowok yang baru dekat dengannya, tidak mungkin gara-gara hal sepele Zahra jadi ngambek sama Arian. Sebenarnya Zahra tidak mengerti mengapa dirinya merasa manja ketika berada di dekat Arian.  

*****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review

Judul:  Heart Block Penulis: Okke Sepatumerah Penerbit: GagasMedia Senja  Hadiningrat mengawali karirnya dari sebuah novel pertamanya berjudul Omnibus, ia berhasil meraih juara pertama dalam festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru   Berbakat. Ia mendapat kesempatan memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program menulis kreatif, tetapi novel yang ditulisnya tak sebagus novel pertamanya, hingga dewan juri membanding-bandingkannya dengan Omnibus.  Senja dibanjiri tawaran menulis. Tasya sang kakak tiri menobatkan diri sebagai manager Senja, ia menyarankan Senja menerima tawaran dari penerbit lain yang bekerja sama dengan sebuah merk fashion sepatu perempuan. Singkatnya, Senja harus menulis novel urban yang mengandung unsur promosi produk sepatu tersebut. Karya Senja itu pun meledak di pasaran. Banyak kaum muda khususnya perempuan yang menyukai novel tersebut. Seiring dengan melejitnya karir Senja sebagai penulis, kesibukannya pun bertambah. Ia wajib mengikuti kegi

Kotak Kosong

Kotak Kosong Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di bibir pantai selatan. Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden. Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam. “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” ujar Randy pada sahabatnya “Sudah ajalnya begitu.” “Tapi aku mencurigai satu nama disini.” “Siapa?” tanya Abdul “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong, kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik Randy persis di daun teli

Untuk Sebuah Cinta Suci

Allahumma shoyyiban nafi’aan Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra. “Sudah tidak terlalu dingin kan?” Zahra menggelengkan kepala. “Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!” “Masih males gerakin tangan.” “Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra. “Bisa sendiri kok.” “Siapa juga yang mau suapin kamu.” “Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit. “Ra,” “Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa. “Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.   “Ra apa kamu yakin dengan keputusan