Langsung ke konten utama

Khuraira

Khuraira

​Sudah tiga tahun aku menjajakan kakiku di sebuah kota di bibir pantai selatan. Sejauh mata memandang hamparan samudera luas selalu menghiasi perjalanan pagiku menuju lapangan tempatku menawarkan produk-produk kebutuhan sehari-hari, dan perjalanan sore menjelang malam saat aku kembali ke kontrakan kecilku. Aku berada di sini merantau jauh dari kota kelahiranku di Jawa Tengah untuk sebuah mimpi yang harus kugapai. Di pelosok kota ini diam-diam aku mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di sebuah universitas Negri. Aku mengambil kelas hari Minggu agar tidak mengganggu pekerjaan.  Awal masuk di universitas ini aku menemukan seorang gadis pujaan hati penyemangat hidupku. Aku bermimpi di suatu sore yang gerimis aku mengetuk pintu rumah ibu dengan membawa gadis Sunda asal kota ini. Namun semua berlangsung begitu singkat, aku dan dia memutuskan untuk menjalani hari-hari sebagai teman biasa, hingga aku menemukan kembali tambatan hatiku di kota kelahiranku. Dia cantik dan aku mencintainya.

Aku jatuh cinta pada kota ini, aku jatuh cinta pada masyarakatnya yang ramah, kulinernya yang khas dan pemandangannya yang menawan. Aku sangat jatuh cinta pada curug-curugnya yang masih “perawan”. Banyak sekali air terjun-air terjun yang menjadi surga tersembunyi di sini. Untuk mencapai ke beberapa curug di kota ini harus melewati jalanan setapak yang cukup terjal dengan beberapa tanjakan dan turunan yang licin, terlebih ketika hujan turun, namun itu tidak seberapa, sepanjang perjalanan banyak suguhan pemandangan yang akan membuat mata enggan berkedip, hamparan pesawahan yang hijau dan luas dengan beberapa saung ranggon, di tambah pemandangan horizon laut lepas dari kejauhan yang akan membuat hati bergetar menyaksikan kebesaran Tuhan. Aku jatuh cinta pada semua yang ada di kota ini, aku dan kota ini seperti menjadi belahan jiwa, akankah aku mendapatkan belahan jiwa di kota ini juga, ah aku tak pernah berfikir macam-macam aku sudah memiliki kekasih hati di kotaku, tapi takdir kan Tuhan yang mengatur, dekati saja yang ngaturnya.

“Kuliner khas yang selalu dirindukan pengunjung adalah bakso ikan yang kuah dan bumbunya meresap hingga ke dasar bakso, ditambah tetesan air jeruk limau dan aroma bawang gorengnya yang membangkitkan lapar, minumnya es kelapa muda pake gula Jawa, seger kan mas?” tanya Khuraira sambil mengaduk-aduk kuah bakso yang telah ditambahkan satu sendok cabe.
“Iya seger banget seperti melihat wajahku.” Aku menimpali celoteh Khuraira, ia menimpukku dengan gulungan tisu. “Kamu tau kenapa es kelapa muda ini manis?” tanyaku
“Karena pake gula.”
“Gula apa?”
“Gula merah dan gula putih.”
“Salah.”
“Pake apa?” tanya Khuraira.
“Gula Jawa,” jawabku asal.
“Itu sama aja di sini namanya gula merah atau gula aren.”
“Tapi di Indonesia namanya gula Jawa.”
“Emangnya di sini bukan Indonesia?” tanya dia dengan mimik muka kesel. “Tapi iyakan aja deh biar cepet.” Lanjutnya, seketika bibirnya langsung menyunggingkan senyuman. Itulah yang aku suka dari Khuraira, gadis yang sulit di tebak karakternya. Beberapa menit yang lalu ekspresi di wajahnya ditekuk dan kusut seperti kertas yang diremas, namun dalam hitungan menit berikutnya senyuman kembali mengembang tanpa beban.
“Iya kan, yang bikin manis es kelapa ini gula Jawa, gulanya aja manis kebayang donk, gimana manisnya nikah sama orang Jawa.” Kataku sambil tersenyum iseng. Ia tersenyum sambil menutup wajahnya. Aku tahu perempuan itu makhluk yang sensitif, disuruh membayangkan yang manis-manis saja pasti wajahnya langsung berubah semakin manis.
“Aku lagi ga bahas gula Jawa, aku bahas bakso ikan.”
“ Bakso ikan juga enak dimakan bersama leumeung bakar.” Ujarku. Leumeung atau leumang adalah makanan yang menjadi salah satu maskot di kota pelosok ini, terbuat dari beras ketan, ditambahkan bumbu dan dibakar di dalam ruas bambu.
“Dan leumeung juga enak dimakan dengan gula Jawa yang dicairkan.” Timpalnya.
“Tuh kan bahas gula Jawa,” godaku, “Udah kebayang ya manisnya orang Jawa?”
Khuraira hanya tersenyum, sebelum akhirnya ia memukulku dengan sedotan es dan mengacak-acak rambutku.
“Gerimisnya mulai deras mas.” Seru Khuraira, ia membuka telapak tangannya dan menghadapkannya ke langit untuk mengukur seberapa deras gerimis yang turun.
“Pulang aja atau nunggu reda?”
“Pulang aja, nanti keburu malam, ada mantel kan?”
“Ada tapi Cuma satu.”
“Ya udah mas pake mantel, aku kan di belakang berlindung di punggungmu.”
Aku menyalakan gas motorku dan menyuruh Khuraira segera naik.
“Ayo, pulang sekarang?” tanyaku membuyarkan kebingungan Khuraira, ia masih mematung menatapku yang sudah siap menembus hujan.
“Mantelnya kok ga di pake?”
“Nanti aja, hujan hujanan lebih seru.”
“Nanti kamu flu, besok kan kerja.”
“Tenang aja.”
“Mas hujannya semakin deras.” Teriak Khuraira tepat ditelingaku
“Ga apa-apa petualangan.”

******
​Hari ini adalah tahun ketiga aku berada di kota ini sekaligus tahun kedua bertemu Khuraira, gadis manis yang cuek tapi peduli sosialnya tinggi, ia selalu terlihat sederhana dan anggun dengan tutur katanya yang lemah lembut, disayangi dan menyayangi anak-anak, ibu-ibu dan kucing, hampir setiap aku menemaninya pergi, ia selalu disapa oleh  ibu-ibu dan anak-anak dan setiap aku berada di rumahnya, kucing-kucing yang lucu dan sehat selalu mengikutinya.
​“Kok anak-anak itu ada yang memanggil ibu, kakak dan ada yang memanggilmu teteh?” tanyaku di suatu malam ketika aku dan Khuraira pulang dari pasar malam. Selama di pasar malam ia juga banyak disapa anak-anak yang langsung berebutan mencium punggung telapak tangannya, bahkan ada ibu-ibu di toko boneka yang tiba-tiba menciumnya.
​“Yang penting tidak ada yang memanggilku bapak atau mas.” Jawab Khuraira kalem sambil melepas kucing dari pangkuannya. Kucing manis itu menghampiri kakiku dan naik ke pangkuanku.
​“Dia minta digendong,” seruku
​“Dia memang manja mas.”
​“Karena kucing emang senang di manja.”  Ujarku. Ku elus-elus leher di bawah mulut kucing sampai kucingnya luluh di pangkuanku.
​“Suka kucing juga?”
​“Iya,” jawabku singkat
​“Pantesan dia langsung nyamperin kamu, nih liat foto kucing-kucingku!”
​Aku tertawa melihat koleksi foto-foto kucing dengan berbagai ekspresi, ada yang sedang duduk di atas pohon mengikuti majikannya yang duduk di dahan pohon jambu, ada yang sedang menunduk dan tidur di atas buku, seolah-olah dia sedang membaca buku sampai ketiduran, ada juga yang sedang menonton video kucing miow mi. Entahlah sepertinya aku mulai jatuh hati pada kucing Khuraira dan pada Khuraira juga. Aku pun merasa Khuraira suka padaku, tapi aku juga tahu hampir semua teman-teman cowok dia dekat dengannya. Aku tidak bisa terlalu kepedean.
*******
​Aku melirik angka di tubuh kalender yang sengaja kulingkari dengan tinta merah sebagai hari yang sangat spesial untukku. Hari di mana untuk pertama kalinya aku menghirup udara segar di dunia, hari di mana ibu berjuang mempertaruhkan hidup dan matinya untukku, hari di mana ayah berharap penuh cemas dengan bibir yang bergetar melantunkan ayat-ayat  suci, dua puluh dua tahun yang lalu. Dan tiga hari kedepan angka itu akan menggenapkan usiaku.
​Kring…. Kring…. Ponsel disakuku berdering nyaring.
​“Assalamu’alaikum.”
​“Wa’alaikumsalam, mas kamu sibuk?”
​“Ndak kok lagi santai, ada yang bisa dibantu?”
​“Hmmm,”
​“Kenapa?”
​“Anter undangan.”
​“Oke, aku mandi dulu, tunggu sepuluh menit!”
​Sepuluh menit yang ku janjikan ternyata tak bisa kutepati, sudah lebih dari setengah jam Khuraira menungguku di beranda rumahnya. Senyumnya merekah ketika melihatku memarkir motor di bawah pohon mangga depan rumahnya.
​“Nunggu lama ya?”
​“Enggak kok tenang aja kan masih sore.” Kata Khuraira tanpa melepas senyuman, aku merasa setiap kata yang tertutur dari bibirnya bagaikan angin yang menyejukan hati, bahkan aku hampir tak pernah membantah apa yang dia ucapkan.
​“Kalo aku jadi murid kamu, pasti nilaiku seratus semua.” Ujar Khuraira suatu malam ketika dia mengajakku diskusi.
​“Abis muridnya pinter sih.”
​“Sepinter-pinternya murid tetep jauh lebih pinter gurunya.” Bantah Khuraira. Sepanjang perjalanan otakku terus memutar memori dan moment bersama Khuraira. Aku menghela nafas panjang, berusaha menghilangkan bayangan Khuraira. Aku tidak habis pikir pada diriku, orangnya ada di belakang punggung, bayangannya ada di kepalaku.
​“Mas di depan jangan sampai kelewat.” Bisik Khuraira lembut.
​“Iya.”
“Sejak tadi seperti melamun, kenapa?” tanya Khuraira dengan mimik khawatir. “Ga usah ngelamunin aku deh mas, aku baik-baik saja, hehehehehe.”
​Khuraira kamu selalu bikin aku gemes dengan setiap tingkahmu, baru saja rona kekhawatiran tercetak di wajahmu, lalu tiba-tiba wajah isengmu mendominasi. Tetapi aku suka semua tentang kamu.
​“Siapa yang melamun? Aku hanya fokus ke jalan, lampu motorku kurang terang.”
“Iya deh, mau melamun mau fokus terserah kamu aja mas, yang penting masih gratis, ini disimpan di mana? di sini aja ya?” ia menggantungkan dus jinjing di stang motorku.
​“Ra, aku mau ngomong sesuatu boleh ga?” tanyaku dengan perasaan yang tak menentu.
​“Boleh, asal jangan ngomongin tetangga aja.”
​“Tapi di jawab ya!”
​“Katanya mau ngomong, kok malah nyuruh jawab, mau ngomong atau mau nanya?”
​“Hmmmm, dua-duanya deh.”
"Ra,"
​“Oh iya aku punya ini, ulang tahunnya mas masih dua hari ke depan ya,tapi aku ngasih kadonya sekarang aja, supaya jadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untukmu.” Khuraira memotong ucapanku.
​“Buka sekarang atau nanti? nanti aja ya?”
“Tadi mau ngomong apa?” tanya Khuraira.
“Mmmmm aku…aku…”
Aku menatap Khuraira dengan perasaan yang tak menentu, dan kudapati tatapan yang teduh dari sorot matanya, Aku mengurungkan niatku mengungkapkan isi hatiku, karena tatapan matanya membuatku takut kehilangan.
“Muka aku kenapa mas, kok diliatin?” tanya Khuraira merasa risih
“Muka kamu manis.” Jawabku berusaha tenang.
Khuraira, sampai kapan kamu akan mengerti arti dari pancaran mataku, sampai tenggorokan ini kering, atau sampai aku kehilangan kata-kata untuk menggungkapkan perasaanku? Atau hingga aku lupa dengan sepotong kata yang kukhususkan untukmu.

*******
​08 September
​Angka digital di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul 23.00 artinya satu jam lagi usiaku genap dua puluh dua tahun. Aku mengecek akun media sosial milik Khuraira, aku ingin memastikan apakah dia masih aktif atau sudah tidur, ada sedikit rasa kecewa yang terpancar di wajahku ketika kulihat akunnya sudah tidak aktif sejak dua jam yang lalu. Pupus  sudah harapaku untuk mendapatkan ucapan selamat dari Khuraira pada pukul dua belas lebih satu detik.
​Aku menyandarkan punggung pada dinding kamar yang mulai mengalami penuaan, menatap layar ponsel dengan gelisah dan hampa. Huufft aku menghembuskan nafas, mengusir rasa yang menyesakan dada, meneguk satu gelas air mineral dan tertidur.
Tring…. Layar ponselku berkedip, jari tanganku mengucek mata yang baru terpejam, segera duduk dan mengumpulkan seluruh kesadaran.
​“Selamat ulang tahun ya mas, semoga usiamu penuh berkah dan cepet nikah, hehehehehe.”
​“Terima kasih Ra, do’a terbaik untukmu juga.”  Klik aku mengirim pesan balasan tetapi ceklis. Mungkin dia langsung tidur dalam hitungan detik. Itulah kebiasaan buruk Khuraira yang paling aku kenal, sering ketiduran ketika melakukan obrolan. Aku memutar tubuh ponsel.
​Tring…tring…. Ponselku berkedip berkali-kali, ini pasti dari kekasihku, yakinku dalam hati, untaian do’a yang indah dan menyejukan telah berderet di dinding media sosialku, dikirim oleh Khuraira. Kapan dia menyusun kata-kata seindah ini? tanyaku dalam hati, ah dia selalu punya kejutan manis yang membuat hati ini bergetar.
******

​“Terima kasih ya, ini adalah kado terindah dan terbaik yang aku terima selama dua puluh dua tahun.”
​Aku sengaja mengirim pesan singkat pada Khuraira lebih pagi, aku yakin dia belum bangun, tetapi dugaanku melesat jauh, dalam waktu beberapa detik khuraira telah membalas pesanku.
​“Sama-sama, semoga bermanfaat.”
​Khuraira membalas pesanku dengan menyertakan emot senyum. Tak ada kalimat yang spesial dari pesan balasan yang dikirim Khuraira, tetapi bunga-bunga bahagia menghiasi setiap sudut ruang hatiku.

Khuraira, tanpa kusadari kamu adalah sosok dari kesungguhan cinta yang selama ini aku cari, semoga kamulah gadis sunda impianku yang akan kuajak mengetuk pintu rumah ibuku di sore yang gerimis.

Aku segera menutup buku catatan harianku, merapikan kado dan bergegas mengambil air wudhu, aku ingin memantapkan hatiku untuk melepas kekasihku di kota kelahiranku dan meraih mimpi bersama Khuraira. Meski mimpi itu dalam sepotong kata yang terlupakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review

Judul:  Heart Block Penulis: Okke Sepatumerah Penerbit: GagasMedia Senja  Hadiningrat mengawali karirnya dari sebuah novel pertamanya berjudul Omnibus, ia berhasil meraih juara pertama dalam festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru   Berbakat. Ia mendapat kesempatan memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program menulis kreatif, tetapi novel yang ditulisnya tak sebagus novel pertamanya, hingga dewan juri membanding-bandingkannya dengan Omnibus.  Senja dibanjiri tawaran menulis. Tasya sang kakak tiri menobatkan diri sebagai manager Senja, ia menyarankan Senja menerima tawaran dari penerbit lain yang bekerja sama dengan sebuah merk fashion sepatu perempuan. Singkatnya, Senja harus menulis novel urban yang mengandung unsur promosi produk sepatu tersebut. Karya Senja itu pun meledak di pasaran. Banyak kaum muda khususnya perempuan yang menyukai novel tersebut. Seiring dengan melejitnya karir Senja sebagai penulis, kesibukannya pun bertambah. Ia wajib mengikuti kegi

Kotak Kosong

Kotak Kosong Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di bibir pantai selatan. Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden. Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam. “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” ujar Randy pada sahabatnya “Sudah ajalnya begitu.” “Tapi aku mencurigai satu nama disini.” “Siapa?” tanya Abdul “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong, kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik Randy persis di daun teli

Untuk Sebuah Cinta Suci

Allahumma shoyyiban nafi’aan Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra. “Sudah tidak terlalu dingin kan?” Zahra menggelengkan kepala. “Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!” “Masih males gerakin tangan.” “Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra. “Bisa sendiri kok.” “Siapa juga yang mau suapin kamu.” “Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit. “Ra,” “Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa. “Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.   “Ra apa kamu yakin dengan keputusan