Mengapa Tuhan meng-Anugerahkan Cinta
Minggu pagi yang cerah, aku duduk berselonjor melepas lelah setelah menempuh perjalanan selama 2 jam dari Malingping ke Rangkasbitung, tak jauh dari tempatku duduk ada bang Ari, seorang seniman sekaligus penulis yang sedang berada di masa puber kedua, ia duduk menatap halaman patanjala sambil mencoret-coret buku tulis. Sepertinya dia sedang gelisah atau bisa jadi dia sedang jatuh cinta.
"Naura,"
"Ya." Sahutku
"Kamu sakit sinusitis kan?" Tanya bang Ari.
"Iya, tapi udah sembuh, alhamdulillah."
"Gejalanya bagaimana?" Tanya dia lagi.
"Sakit banget di sekitar hidung, dahi, mata dan kadang kepala juga sangat sakit." Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
"Coba sih duduknya jangan di belakang, susah tau, masa tiap ngomong aku harus nengok ke belakang."
Aku segera pindah duduk mengikuti dia, menatap halaman yang banyak ditumbuhi pohon markisa.
"Aku sepertinya sakit sinusitis atau polip deh, soalnya sering sakit di sini."
"Bisa jadi, periksa aja ke dokter THT."
"Iya, itu tercium bau enggak?"
"Kalo rajin ga akan bau, aku juga pernah beberapa hari ingus tercium bau?"
"Kecium sama orang lain ga?"
"Kayaknya enggak deh, kalo belum parah."
"Kalo ciuman, tercium bau ga?"
"Ya ga tau."
"Emang belum pernah ciuman?" Tanya dia
"Belum." Jawabku singkat.
"Kenapa?"
"Ya enggak mau aja, kan ga boleh."
"Kalo ciuman ga boleh, kenapa Tuhan menganugerahkan cinta?"
"Agar setiap manusia bisa saling menyayangi dan mencintai, tapi bukan dengan cara yang salah."
"Emang ciuman salah?"
"Enggak salah, cuma harus dilakukan dengan jalan yang baik."
"Naura, kamu itu seorang penulis,"
"Iya aku tahu, dan aku enggak fanatik soal itu, soal kehidupan remaja, dan semua tentang cinta. Aku manusia biasa yang normal, tapi aku tidak mau menodai Anugerah cinta yang Tuhan berikan dengan cara yang salah."
"Iya, iya aku cuma nguji kok, aku tanya begitu bukan berarti aku mesum ya."
"Hehehe iya, aku dhuha dulu ya takut keburu siang." Aku bergegas menuju kamar mandi, membasuh seluruh anggota wudhu.
Minggu pagi yang cerah, aku duduk berselonjor melepas lelah setelah menempuh perjalanan selama 2 jam dari Malingping ke Rangkasbitung, tak jauh dari tempatku duduk ada bang Ari, seorang seniman sekaligus penulis yang sedang berada di masa puber kedua, ia duduk menatap halaman patanjala sambil mencoret-coret buku tulis. Sepertinya dia sedang gelisah atau bisa jadi dia sedang jatuh cinta.
"Naura,"
"Ya." Sahutku
"Kamu sakit sinusitis kan?" Tanya bang Ari.
"Iya, tapi udah sembuh, alhamdulillah."
"Gejalanya bagaimana?" Tanya dia lagi.
"Sakit banget di sekitar hidung, dahi, mata dan kadang kepala juga sangat sakit." Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
"Coba sih duduknya jangan di belakang, susah tau, masa tiap ngomong aku harus nengok ke belakang."
Aku segera pindah duduk mengikuti dia, menatap halaman yang banyak ditumbuhi pohon markisa.
"Aku sepertinya sakit sinusitis atau polip deh, soalnya sering sakit di sini."
"Bisa jadi, periksa aja ke dokter THT."
"Iya, itu tercium bau enggak?"
"Kalo rajin ga akan bau, aku juga pernah beberapa hari ingus tercium bau?"
"Kecium sama orang lain ga?"
"Kayaknya enggak deh, kalo belum parah."
"Kalo ciuman, tercium bau ga?"
"Ya ga tau."
"Emang belum pernah ciuman?" Tanya dia
"Belum." Jawabku singkat.
"Kenapa?"
"Ya enggak mau aja, kan ga boleh."
"Kalo ciuman ga boleh, kenapa Tuhan menganugerahkan cinta?"
"Agar setiap manusia bisa saling menyayangi dan mencintai, tapi bukan dengan cara yang salah."
"Emang ciuman salah?"
"Enggak salah, cuma harus dilakukan dengan jalan yang baik."
"Naura, kamu itu seorang penulis,"
"Iya aku tahu, dan aku enggak fanatik soal itu, soal kehidupan remaja, dan semua tentang cinta. Aku manusia biasa yang normal, tapi aku tidak mau menodai Anugerah cinta yang Tuhan berikan dengan cara yang salah."
"Iya, iya aku cuma nguji kok, aku tanya begitu bukan berarti aku mesum ya."
"Hehehe iya, aku dhuha dulu ya takut keburu siang." Aku bergegas menuju kamar mandi, membasuh seluruh anggota wudhu.
Komentar
Posting Komentar