Langsung ke konten utama

Pelukan Sahabat

Aku terpaku memandang deburan ombak yang tak pernah letih menggulung ketepian pantai, air mata yang ku tahan sekuat tenaga akhirnya tak terbendung, ia mengalir deras melewati pipi tirusku dan bermuara di dagu. Pikiranku kalut, tetapi lebih kalut lagi pikiran sahabatku yang duduk di sampingku dengan wajah ketakutan. Berkali-kali aku mengucap istighfar dan melafadzkan tasbih sebagaimana air laut yang bertasbih memuji Tuhannya dengan deburan ombak. 
“Aku ingin menggugurkan kandungan ini.” Ujar Tania sambil mengelus perutnya yang masih rata. 
“Tidak Tania, kamu jangan lakukan itu, agamamu dan agamaku melarang melakukan aborsi, kalau memang kamu benar-benar hamil, tolong jaga janin yang ada dalam kandungan kamu, itu amanah dari Tuhan, dia tidak bersalah.” Aku menyeka air mata, pedih sekali rasanya hatiku mendengar Tania telah di hamili oleh kekasihnya. 

“Tapi siapa yang akan bertanggung jawab dengan janin yang ada di perutku?” nada suara Tania naik satu oktaf. Aku tidak pernah mendengar nada suara Tania seperti itu, dia itu pribadi yang lemah lembut, tetapi saat ini aku harus memaklumi, sepertinya dia stress dengan keadaan yang harus dia hadapi.
“Ferdy kemana?” Tanyaku, menanyakan kekasih Tania yang selama ini selalu Tania banggakan.
“Ferdy? Ferdy itu bajingan. Aku kemarin sudah berbicara padanya kalau aku terlambat, tapi dia malah marah-marah dan mutusin aku, dia bilang aku ini perempuan murahan.”
Aku menghela nafas berat, aku bingung bagaimana aku harus menasehati dan menguatkan Tania yang berada di ujung kebingungan dan ketakutan.
“Sabar ya Tania, aku akan selalu ada untuk kamu, aku janji kalau Ferdy tidak mau bertanggung jawab, aku akan membantu kamu merawat bayi itu nanti, dan lihat aja aku akan membuat perhitungan dengan dia, kamu tidak usah khawatir.” Aku menepuk pundak Tania. Tania memaksakan bibirnya tersenyum
******* 
MATAHARI terasa satu jengkal di atas kepala, sudah satu jam aku mencari Tania ke beberapa tempat yang biasa ia kunjungi, hingga akhirnya kutemukan dia berasa di sisi jurang di pinggir laut. Aku berusaha untuk tidak panik.
“Aku ini sahabatmu Tania, jika kamu loncat ke jurang, aku juga akan loncat kesana, biar kita bisa sama-sama merasakan sakitnya jatuh kedasar jurang yang penuh batu dan karang.”
“Biarkan aku mati Lesya! Untuk apa aku HIDUP? aku sudah tidak berguna, tidak ada yang CINTA sama aku."
“Tidak Tania, banyak orang yang sayang sama kamu, termasuk aku.”
“Kamu bohong Sya.” Tania menggeser telapak kakinya lebih mendekati mulut jurang.
“Aku tidak bohong Tania, wallahi, aku menyayangi kamu, kamu percaya kan sama aku?” Aku membuat mimik wajahku setegas mungkin agar Tania percaya bahwa aku benar-benar sayang sama dia.
“Aku tidak percaya sama siapapun.”
“Kamu tidak percaya sama aku? apa artinya kebersamaan kita selama ini kalau kamu masih tidak pernah percaya sama aku?” Aku menelan ludah yang menyumbat ditenggorokanku. Aku kecewa.

“Ternyata selama ini aku salah menilai kamu, aku pikir kamu itu sahabatku yang baik, yang selalu percaya aku, sebagaimana aku selalu percaya sama kamu, terserah kalau kamu akan loncat, aku tidak peduli.” Aku berteriak lantang hingga teriakanku memantul ke dasar jurang dan berbalik menghasilkan gema.
Tania melangkah mundur dari tepi jurang, ia menghambur ke arahku dan memelukku erat. Tetesan air matanya terasa hangat menembus kulit punggungku.
“Aku selalu percaya sama kamu Sya, bantu aku!” Ujar Tania disela isak tangisnya
“Aku akan berusaha membantu kamu Tania, insyaa Allah.”
“Bantu aku bertaubat.”
“Bertaubat?” aku mengerutkan keningku
“Iya bantu aku bertaubat, aku ingin bertaubat.”
“Bagaimana mungkin aku bisa membantumu, aku sendiri belum mengerti bagaimana caranya bertaubat, aku belum pernah melakuan taubat.” Aku merenggangkan pelukan Tania agar aku bisa menatap wajahnya yang telah basah di banjiri air mata.
“Aku yakin kamu bisa bantu aku, kamu itu orang yang baik, aku ingin masuk islam.”
Bagai mendengar petir di bawah terik sinar matahari saat mendengar pernyataan Tania ingin masuk islam.
“Apa Tania?” Tanyaku meyakinkan telingaku tidak salah dengar.
“Aku ingin masuk islam.” Ulang Tania
“Please ulangi sekali lagi Tania!”
“Aku ingin masuk islam.”
“Kamu yakin ingin masuk islam?” Aku menatap mata Tania, mencari kesungguhan dari sorot matanya. Tania tidak menjawab, ia menarikku menjauh dari jurang yang hampir menjadi sejarah berakhirnya kehidupan.
”Aku bersungguh-sungguh Lesya.” Tania menggangkat tubuhnya dari pelepah pandan yang menjadi alas tempat duduk kami. Ia meraih dan menatap kalung kebanggaannya beberapa saat, lalu melemparkannya jauh ke tengah gulungan ombak. 
“Tania.” Aku sangat terkejut melihat Tania melemparkan kalungnya. Kalung yang ia simbolkan sebagai Tuhannya kini telah di telan ombak.
“Apa kamu tidak sayang dengan kalungmu? Kenapa tidak kamu buang liontinnya saja!”
“Tidak Lesya, kalung itu seluruhnya harus aku buang, agar aku benar-benar bisa melupakan semua masa laluku, aku ingin membuka lembaran kehidupan yang baru bersama kamu.”
“Apa alasan kamu ingin masuk islam?”
“Aku ingin seperti kamu, aku ingin menjadi muslimah seperti kamu, aku ingin menjadi sahabatmu di dunia dan di akhirat, bimbing aku please!”
“Oke Tania, insya Allah aku akan berusaha, tapi semua keputusan kamu akan sangat beresiko di keluarga kamu.”
“Aku tidak peduli Lesya, aku sudah dewasa, aku berhak menentukan pilihanku, lama kelamaan mereka pasti bisa menerima keputusan dan pilihan aku.”
“Ketika aku main ke rumahmu, aku sering mencuri-curi bacaan tentang islam di kamarmu. Aku yakin aku ingin menjadi muslimah sepertimu. Selama berteman denganmu aku selalu merasa nyaman, aman dan damai, setiap tutur kata yang kamu ucapkan selalu membuat bahuku merinding tetapi hatiku seperti tertiup angin yang sejuk.” Tania menghela nafas sejenak. Dari raut wajahnya terlihat masih banyak unek-unek yang ingin ia utarakan. Aku memilih diam, menyimak apa yang Tania ucapkan.
“Dan yang paling berkesan dari agama islam adalah bacaan yang sering kamu ucapkan ketika hendak melakukan segala sesuatu dan setelah selesai melakukan sesuatu, aku sampai hapal dan kadang aku sering latah mengikuti apa yang kamu ucapkan.”
“Bacaan yang mana Tania?” tanyaku
“Bissmillah dan Alhamdulillah.”
“Masyaa Allah Tania, sampai sedetail itu kamu memperhatikan aku?” Aku tersenyum dengan perasaan sangat terharu.
“Kan aku sahabatmu, wajar dong kalau aku sering memperhatikan kamu, meski kita berbeda keyakinan, tapi percayalah aku suka sama kamu, karena kamu itu netral, supel, sabar, penyayang, berani, aktif dan……” Tania menggantungkan kalimatnya.
“Dan apa?” tanyaku penasaran.
“Cuek dan,” Tania mencolek hidungku.
“Dan apalagi?”
“Dan aku suka cara kamu mengajar anak-anak, aku selalu ingat kalimat ini, dan Allah menjanjikan pada orang-orang yang beriman syurga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sejuk sekali aku mendengarnya .”
Aku tersenyum, aku sering mengajak Tania ke tempat aku belajar mengajar anak-anak, aku ajari mereka menghafal Asma’ul Husna, do’a-do’a harian, mahfudzat, kosa kata bahasa Arab, dan hafalan surat-surat pendek beserta terjemahnya. Setiap akan memulai pelajaran, mereka harus membaca do’a sebelum belajar, membaca Asma’ul Husna dan surat-surat pendek agar semua hapalan terus melekat hingga mereka dewasa dan tua nanti, kadang aku juga berbisik pada mereka agar mendo’akan kakak cantik bernama Tania segera masuk islam dan belajar bersama kami.
“Eh ada lagi.”
“Apa?”
“Kamu suka maksa.”
Aku dan Tania tertawa lepas sambil berlari kecil menghampiri ombak yang menepi. 
“Oh ya aku punya satu permintaan sama kamu.” Aku menghentikan langkah Tania
“Apa itu Lesya?”
“Tapi kamu janji mau memenuhi permintaan aku?”
“Aku janji Lesya.”
“Coba kamu ucapkan Allahu Akbar!”
“Kapan?
“Sekarang.”
“Alla hu ak bar.” Tania mengucapkan kalimat takbir dengan terbata
“Boleh di ulang?” Tanyaku menguji kesungguhan Tania
“Allahu Akbar”
“Allahu Akbar.” Aku mengulang kalimat yang di ucapkan Tania.
Aku memainkan sisa-sisa buih yang menempel pada karang-karang kecil di tepi pantai. Betapa cepatnya waktu berlalu, beberapa jam yang lalu Tania dengan wajah putus asa hampir terjun di tepi jurang yang di bawahnya terdapat karang, tetapi saat ini di bawah naungan langit biru, bersaksikan hamparan samudera, karang yang kokoh dan deburan ombak, perempuan bermata belo itu menyatakan kesungguhannya ingin menjadi seorang muslimah. Allahu Akbar
******  
24 Desember 2016
Lembayung jingga telah menghiasi langit, menemani senja yang mulai beranjak menuju peraduannya. Aku bergegas mangambil air wudhu sebelum muadzin mengakhiri suara merdunya. Ku kenakan mukena putih berpadu merah muda dan segera melaksanakan tiga raka’at sholat maghrib tanpa di lengkapi dengan sholat sunah. Aku menganggap diri ini harus buru-buru ke rumah pak Kiayi.
Tubuhku bergetar ketika ustadz Ramadhan anaknya pak Kiayi yang di damping bu Nyai dan beberapa santri membimbing Tania mengucapkan dua kalimat syahadat, ini seperti mimpi, tanpa aku sadari butiran bening terus meleleh dari pelupuk mataku. Aku tidak peduli mereka akan berkata apa tentang air mata ini, mata merekapun tampak basah menahan rasa haru. Tania tampak tenang, dengan terbata ia mengikuti apa yang di ucapkan ustadz Ramadhan.
Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
“Alhamdulillah kamu sekarang telah menjadi seorang muslimah, setelah ini minta di bimbing sama Lesya ya.” Kata ustadz Ramadhan sambil memberikan hadiah sebuah mukena baru. Aku menghampiri Tania yang masih duduk bersimpuh sambil mencium hadiah dari ustadz Ramadhan. 
“Assalamu’alaikum ahlan wa sahlan Tania, selamat datang di kehidupan kamu yang baru, tahniah ya kamu sekarang sudah menjadi seorang muslimah.” Bisiku lembut, ini pertama kalinya aku mengucapkan salam untuk seseorang yang sangat dekat denganku.
“Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh.” Bukan hanya Tania yang menjawab salamku, tetapi ustadz Ramadhan, bu Nyai serta beberapa santri yang mendengar bisikanku.
Malam ini terasa begitu syahdu dan sejuk, gemuruh takbir dan tahmid menggema menghiasi langit malam, bersamaan adzan isya berkumandang. 
“Apa aku boleh mengucapkan selamat natal untuk keluarga dan teman-temanku besok?” tanya Tania sepulang dari rumah pak Kiayi.
“Tidak boleh Tania.” Kataku spontan, aku tersentak kaget bercampur bingung harus menjawab apa atas pertanyaan Tania. Tania menatapku penuh tanya.
“Simplenya gini aja deh, besok kalau keluargamu menegur mengapa kamu tidak mengucapkan selamat natal pada mereka, kamu tanya balik aja, apa mereka bisa mengucapkan dua kalimah syahadat? Kalau mereka bilang tidak bisa berarti kamu juga tidak boleh mengucapkan selamat natal untuk mereka, untuk lebih jelasnya kita kembali ke rumah pak Kiayi aja, kita tanyakan pada ustadz Ramadhan atau bu Nyai.”
“Tidak usah Lesya, aku percaya sama kamu, kalau kamu bilang tidak boleh, itu artinya ustadz Ramadhan juga bu Nyai pasti bilang tidak boleh.”
“Oh ya Sya malam ini aku boleh ya nginep di rumah kamu, aku ingin belajar sholat malam, aku rindu bacaan sholat tahajjudmu yang indah.”
******  
Aku melirik angka digital yang melilit di pergelangan tanganku, sudah satu jam aku menunggu Tania di tempat biasa kami bertemu, aku mulai berfikir Tania telah berubah pikiran dan kembali memeluk agama lamanya. Mungkin saat ini dia sedang asyik merayakan natal bersama keluarganya. Harusnya pagi tadi aku tidak membiarkan Tania pergi. Sesalku dalam hati, Padahal siang ini aku ingin memberikan kejutan untuk Tania.
“Lesya.” Suara seseorang yang sudah sangat aku hapal membuyarkan lamunanku, ia mendekap kedua mataku dari belakang dengan telapak tangannya. Aku meraih pergelangan tangannya, ada yang aneh dengan pergelangan tangan itu, seperti tangan yang mengenakan manset.
“Tania kan?” tebakku ragu
“Yup.” Seketika tubuh Tania telah berpindah ke sampingku.
“Masyaa Allah kamu cantik sekali Tania.” Aku dibuat terkesima dengan penampilan Tania yang baru. Kerudung ungu mudanya menjuntai hingga menutupi seluruh baju atasannya. Aku masih tidak bisa berkedip memandangi Tania dari ujung kepala hingga ujung kaki yang terbalut rapi, ia menggunakan manset tangan dan kaos kaki.
“Allahu Akbar Allahu Akbar.” Aku menggeser tubuhku dan memeluk Tania erat.
“Lesya hari ini aku dapet.” Tania berbisik di telingaku. 
“Wah yang bener? Alhamdulillah, itu artinya kamu tidak hamil Tania .”
“Iya Lesya, terima kasih banyak, aku pikir aku hamil karena telat hampir satu bulan.”
Aku dan Tania kembali berpelukan sambil terus mengucapkan takbir dan tahmid.
“Aku punya kejutan untuk kamu.” Aku menyodorkan sebuah koran dengan headline berita seorang pemuda berinitial F mencoba melakukan pembunuhan terhadap kekasihnya yang sedang hamil 4 bulan.
“Jadi selama ini aku di selingkuhi? benar-benar bajingan kamu Ferdy.” ujar Tania kaget, wajahnya sedikit memerah menahan emosi yang harusnya siap meledak.
“Yup, sudahlah lupakan saja dia! sekarang dia sudah kena batunya kan? dia sekarang masuk penjara, dan kamu masuk islam, siapa yang beruntung? Kamu donk, semua yang terjadi pasti ada hikmahnya, eh satu lagi kejutannya.”
“Apa?” Tanya Tania penasaran
“Ustadz Ramadhan nitip salam untuk kamu, katanya beliau suka sama kamu, kalau kamu sudah siap, ustadz Ramadhan akan segera melamar kamu.”
“Itu tidak mungkin Lesya, aku ini perempuan kotor.”
“Tidak ada yang tidak mungkin Tania, Allah itu bersama orang-orang yang sabar dan berserah diri padaNya, ucaplah nama Allah sebanyak-banyaknya!”
“Allahu Akbar….. Allahu Akbar.” Tania menjatuhkan tubuhnya sambil mengucap takbir dan bersujud di atas rumput.
Akupun turut memanjatkan rasa syukur pada Allah yang maha kuasa, maha Rahman dan maha Rahiim karena telah menghadirkan Tania sebagai salah satu sahabat yang menjadi motivasi dalam do’aku di sepertiga malam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review

Judul:  Heart Block Penulis: Okke Sepatumerah Penerbit: GagasMedia Senja  Hadiningrat mengawali karirnya dari sebuah novel pertamanya berjudul Omnibus, ia berhasil meraih juara pertama dalam festival Penulis Indonesia kategori Pendatang Baru   Berbakat. Ia mendapat kesempatan memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program menulis kreatif, tetapi novel yang ditulisnya tak sebagus novel pertamanya, hingga dewan juri membanding-bandingkannya dengan Omnibus.  Senja dibanjiri tawaran menulis. Tasya sang kakak tiri menobatkan diri sebagai manager Senja, ia menyarankan Senja menerima tawaran dari penerbit lain yang bekerja sama dengan sebuah merk fashion sepatu perempuan. Singkatnya, Senja harus menulis novel urban yang mengandung unsur promosi produk sepatu tersebut. Karya Senja itu pun meledak di pasaran. Banyak kaum muda khususnya perempuan yang menyukai novel tersebut. Seiring dengan melejitnya karir Senja sebagai penulis, kesibukannya pun bertambah. Ia wajib mengikuti kegi

Kotak Kosong

Kotak Kosong Lamat-lamat suara tahlilan menyeruak dari rumah sederhana di bibir pantai selatan. Gemerincik air hujan yang jatuh di atas tenda plastik berwarna biru seakan menambah suasana duka di desa terpencil itu. Puluhan pemuda dan beberapa anggota polisi duduk bergerombol sambil menatap karangan bunga duka cita dari komandan pasukan pengamanan presiden. Sementara di sudut rumah bagian tengah seorang perempuan setengah baya masih tak sadarkan diri melihat jasad suaminya terbujur kaku penuh luka tusukan senjata tajam. “Kenapa ya kematian pak kades begitu tragis dan mendadak?” ujar Randy pada sahabatnya “Sudah ajalnya begitu.” “Tapi aku mencurigai satu nama disini.” “Siapa?” tanya Abdul “Aku yakin dalang di balik penculikan dan pembunuhan pak kades adalah pak Imong, kan pak Imong salah satu calon lawan pak kades, lagian ya pak Imong itu sepertinya antusias banget pengen jadi kepala desa, Cuma wajahnya aja sok alim, padahal hatinya busuk.” Bisik Randy persis di daun teli

Untuk Sebuah Cinta Suci

Allahumma shoyyiban nafi’aan Zahra menggosok-gosok telapak tangan agar tubuhnya tidak terlalu dingin. Sementara Gi membuka jaket yang dikenakannya lalu membalutkannya pada tubuh Zahra. Dengan cekatan Gi memesan satu gelas teh manis hangat dan meminumkannya pada Zahra. “Sudah tidak terlalu dingin kan?” Zahra menggelengkan kepala. “Mie ayamnya cepet dimakan, nanti keburu dingin!” “Masih males gerakin tangan.” “Yah, mulai deh manjanya, bilang aja pengen disuapin.” Ujar Gi sambil mengambil sendok garpu, ia bermaksud menyuapi Zahra, tetapi tangannya ditahan Zahra. “Bisa sendiri kok.” “Siapa juga yang mau suapin kamu.” “Ya udah fokus makan masing-masing.” Zahra pura-pura ngambek. Mereka diam bebrapa menit. “Ra,” “Hmmm.” Zahra mengangkat kepalanya, menatap wajah Gi, lalu tertawa. “Ada yang lucu dengan wajahku?” tanya Gi. Zahra hanya tersenyum, ia mengambil tisu lalu membersihkan dagu kekasihnya yang belepotan bumbu mie ayam.   “Ra apa kamu yakin dengan keputusan